Rabu, 10 Agustus 2011

Perompakan (Piracy) dan Kedudukannya Dalam Hukum Internasional


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Dalam dunia kemaritiman, keamanan maritim juga telah meluas tidak hanya konsep pertahanan laut terhadap ancaman militer dari negara lain tetapi juga termasuk pertahanan terhadap ancaman non militer antara lain perlindungan terhadap kelestarian alam, jalur perdagangan,  pemberatasan aksi ilegal di laut, dan lain-lain.
            Sebaliknya, karakter maritim telah menjadi faktor yang memberikan pengaruh kuat pada aspek keamanan, strategi dan kerjasama maritim regional.  Sebagai konsekuensinya keamanan dalam dunia maritim, secara umum menjadi tanggungjawab dari semua negara untuk menjaganya dari segala bentuk ancaman. Semakin luas wilayah perairan laut suatu negara, semakin besar pula tugas dan tanggungjawab pemerintah dari negara tersebut. Tanggung jawab ini bukan hanya secara nasional, tetapi juga secara internasional.
            Belum lama kita melihat dan mendengar di berita televisi maupun di media cetak memburuknya kondisi keamanan di laut. Sebagai contoh: kapal MV Sinar Kudus milik Indonesia yang dibajak oleh “preman-preman laut (piracy) di wilayah perairan Somalia di mana negara kita sepertinya kalang kabut untuk mengatasi masalah tersebut.
            Peristiwa ini tentunya bukan hal yang kebetulan semata akan tetapi lebih disebabkan karena kurangnya “taring negara” di kancah internasional terutama dunia diplomasi Indonesia di dunia internasional. Semakin buruknya dunia diplomasi Indonesia memang bukan pertama kalinya ini terjadi. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia, kasus terlantarnya warga negara kita yang menjadi TKI di luar negeri, dan sebagainya  telah mewarnai buruknya eksistensi kewajiban negara dalam hal melindungi warga negaranya di negara lain. Hal ini tentunya harus menjadi pelajaran bagi pemerintah kita dalam hal memanajemen bidang diplomasi.[1]
            Kejadian yang semakin berlarut-larut ini tentu bukan hal yag kebetulan. Pihak pemerintah seharusnya sadar bahwa diplomasi kita di Somalia sangatlah buruk. Apabila kita mencermati dari diplomatic mission theory yang menjelaskan bahwa suatu negara yang mengakui (recognize) suatu negara lain sebagai subyek hukum maka muncullah hubungan internasional (international relation) antar negara tersebut. Dari adanya hubungan internasional tersebut maka seyogyanya akan muncul hubungan diplomatik yg diwakili oleh wakil-wakil/diplomat/duta besar dari masing-masing negara yang ditempatkan di negara yg diakuinya itu. Dengan adanya penempatan wakil negara/diplomat/duta besar di suatu negara maka ada perluasan ekstrateritority dari suatu negara di negara lain di mana perluasan ekstrateritori itu bertugas untuk mengkover/melindungi warga negara dari negara yang diwakilinya.
            Akan tetapi jika kita mencermati dengan “asas resiprositas” dalam Hukum Diplomatik idealnya adalah harus benar-benar ada rasa saling keterwakilan dari masing-masing negara. Somalia telah menempatkan Duta Besarnya untuk Indonesia, namun Pemerintah RI menempatkan wakilnya untuk Somalia tidak sebagai Duta Besar penuh di Somalia akan tetapi merupakan rangkap jabatan daripada Duta Besar Indonesia di Ethiopia. RI menempatkan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh) LBBP RI untuk Ethiopia, merangkap Republik Demorasi Somalia dan Republik Djibouti.[2]
            Dari hal tersebut di atas, kita seharusnya dapat melihat bahwa ada kurangnya rasa keterwakilan Indonesia di Somalia.          Oleh karena itu tidak heran jika kasus dibajaknya Kapal MV Sinar Kudus tersebut semakin berlarut.
            Keamanan laut atau maritim bukan hanya menyangkut diplomasi dan penegakan hukum di laut semata, keamanan laut dalam arti yang luas adalah laut menjadi wilayah yang aman digunakan oleh pengguna dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap berbagai aktifitas penggunaan dan pemanfaatan laut, yaitu:
1.      Laut yang bebas dari ancaman kekerasan, termasuk ancaman penggunaan kekuatan bersenjata yang dinilai mempunyai kemampuan untuk mengganggu dan membahayakan edaulatan negara.
2.      Laut yang bebas dari ancaman terhadap navigasi, yaitu ancaman yang ditimbulkan oleh kondisi geografi dan hidrografi, yang membayahakan keselamatan pelayaran.
3.      Laut yang bebas dari encemaran dan perusakan ekosistem, yaitu ancaman terhadap kelestarian lingkungan yang dampaknya merugikan bagi masyarakat sekitar dan juga generasi penerus.
4.      Laut yang bebas dari ancaman pelanggaran hukum, yaitu pelanggaran terhadap ketentuan hukum nasional dan internasional yang berlaku seperti ilegal logging, ilegal fishing, dan lain-lain.[3]
            Adapun salah satu isu keamanan laut atau maritim yang akhir-akhir ini menjadi perhatian besar dari berbagai negara adalah aktivitas ilegal di laut, salah satunya yaitu perompakan di laut. Kegiatan ini telah meningkat dalam lingkup, intensitas dan kompleksitasnya sehingga mengancam kondisi sosial, ekonomi, dan politik suatu negara dan kawasan sekitar.
            Sesuai dengan kondisi-kondisi tersebut di atas dan perkembangan yang terjadi di dunia maritim, ada dua tantangan yang paling utama dalam dunia maritim, khususnya di Asia:
1.      Jaminan terhadap jalur laut dalam rangka kelancaran arus barang dan sumber daya alam.
2.      Penghindaran konflik-konflik antar negara dalam hal persaingan atau perebutan perdagangan dan sumber daya alam di kawasan.[4]
            Di samping itu, seiring dengan semakin meningkatnya hubungan ekonomi, termasuk perdagangan antar negara, maka semakin meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi yang membawa manusia dan barang. Sektor perhubungan dalam hal ini berfungsi sebagai penunjang utama, bahkan memiliki peranan sangat penting dalam meningkatkan perekonomian suatu negara karena sektor perhubungan akan mempunyai kekuatan untuk mendorong sektor-sektor produksi. Salah satu bentuk alat transportasi yang saat ini dianggap relatif murah dan dapat mengangkut kapasitas dalam jumlah besar dengan jarak yang cukup jauh adalah transportasi laut. Dijadikannya transportasi laut sebagai penghubung perdagangan antar negara ini juga didukung dengan kemajuan teknologi dan komunikasi yang telah memperpendek waktu yang ditempuh di laut.
            Negara-negara di Asia Timur mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam kegiatan perdagangan dunia. Banyaknya pelabuhan besar di dunia berada di Asia Timur dan pertumbuhan perekonomian yang relatif tinggi serta dinamis menyebabkan frekuensi transportasi laut melalui Selat Malaka dan Selat Singapura juga semakin meningkat. Sebagaimana diketahui bahwa 6 hari dari 25 pelabuhan kontainer terbesar berada di Asia Tenggara, yaitu Singapura, Port Kelang (Malaysia), Tanjung Priok (Indonesia), Tanjung Pelepas (Malaysia), Laem Chabang (Thailand), dan Manila,[5] dan hampir separuh dari kapal-kapal dagang dunia dimiliki oleh negara-negara Asia. Pertumbuhan ini juga didukung dengan semakin majunya industri kapal di Asia.
            Melihat perkembangan di atas, keamanan Selat Malaka dan Selat Singapura, sebagai wilayah yang sangat strategis secara ekonomi dan politis, menjadi faktor penting tidak hanya bagi pihak-pihak yang menggunakan jalur tersebut tetapi juga bagi negara-negara pantai serta kawasan sekitarnya. Isu keamanan di kedua Selat tersebut yang berkembang saat  ini meliputi ancaman aksi kejahatan terhadap kapal-kapal, ancaman terhadap keselamatan navigasi, ancaman sumber daya alam, ancaman kedaulatan, dan hukum. Isu keamanan di kedua selat ini memiliki implikasi gangguan terhadap hubungan internasional negara-negara pantai dimaksud.
            Singapura, Malaysia, dan Indonesia sebagai littoral states dari Selat Malaka dan Selat Singapura, adalah negara-negara yang sangat berkepentingan terhadap keamanan dan stabilitas selat-selat ini. Singapura sebagai trading country telah diuntungkan secara geografis dan selat-selat ini merupakan jantung bagi perekonomiannya. Sementara Indonesia juga mempunyai kepentingan terhadap stabilitas dan keamanan selat-selat tersebut, mengingat selat ini merupakan salah satu pintu masuk jalur perdagangan dari Eropa, Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan sehingga Indonesia juga memperoleh keuntungan secara ekonomi.[6]
            Gangguan keamanan yang sering terjadi pada jalur-jalur laur tersebut adalah kejahatan perompakan di laut. Beberapa kasus perompakan di laut ini juga mulai masuk ke dalam dan terjadi di wilayah teritorial suatu negara, di mana mereka memanfaatkan lemahnya pengamanan laut negara tersebut. Aksi kejahatan di laut tersebut pada awalnya dan pada umumnya adalah dilatarbelakangi oleh faktor-faktor ekonomi. Namun pada perkembangannya dan dalam situasi dewasa ini, fenomena perompakan peru dipertimbangkan dalam konteks tindakan kekerasan di laut yang lebih luas. Hal ini mengingat semakin dimungkinkannya ancaman aksi terorisme di kedua Selat ini yang dilatarbelakangi masalah non ekonomi (ideologi), di mana sangat dimungkinkan bahwa aksi-aksi tersebut juga dilakukan di laut, serta terhadap kapal-kapal di laut.
            Kekhawatiran akan adanya tindakan terorisme di Selat Malaka dan Selat Singapura inni didasarkan pada strategisnya jalur ini tidak hanya bagi littoral states, tetapi juga bagi negara pengguna selat, serta adanya jaringan terorisme yang berkembang di Asia Tenggara. Khususnya Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Selama ini Selat Malaka dan Selat Singapura sudah dianggap “surga” dan  tempat yang sangat ideal untuk melakukan kegiatan kejahatan di laut, mengingat jalur tersebut sangat ramai dilintasi oleh kapal-kapal besar dan kecil, dan juga digunakan sebagai jalur pengapalan energi dan perdagangan bagi negara-negara maju.
            Berbagai upaya telah dan sedang dilakukan baik secara sepihak, bilateral maupun multilateral dalam ranka penanganan terhadap aksi kejahatan di Selat Malaka dan Selat Singapura oleh littoral states. Termasuk dari upaya dari user states untuk berpartisipasi dengan berbagai cara dalam upaya pengamanan di kedua selat tersebut.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini adalah:
1.      Bagaimana gambaran mengenai aksi perompakan di Selat Malaka dan Selat Singapura sebagai jalur perdagangan dunia?
2.      Bagaimana kerjasama antara negara Indonesia, Singapura, dan Malaysia dalam hal memerangi tindakan piracy / armed robbery?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Nilai Strategis Selat Malaka dan Selat Singapura
            Selat Malaka merupakan wilayah perairan yang sebagian besar terbentang antara Indonesia dan Malaysia, memanjang antara laut Andaman di Barat Laut dan Selat Singapura di tenggara sejauh kurang  lebih 520 mil laut dengan lebar yang bervarisi sekitar 11-200 mil laut. Sedangkan Selat Singapura yang terapit antara Indonesia dan Singapura terbentang menurut  arah Barat-Timur sejauh 30 mil laut dengan lebar sekitar 10 mil laut. Daerah yang tersempit dari jalur ini adalah Phillips Channel yang berada di Selat Sngapura, yaitu hanya mempunyai lebar 1,5 mil laut.
            Selat Malaka selama ini selama ini selalu terkait dengan masalah internasional secara politis maupun ekonomi karena jalur tersebut digunakan oleh berbagai kapal untuk berbagai kepentingan, terutama kepentingan niaga. Dari perspektif posisi  maupun historis perdagangan di Selat Malaka sudah lama menjadi sentra ekonomi bisnis. Sebagai perlintasan jalur internasional (international maritime passage) Selat Malaka dan Selat Singapura telah  menjadikan pelabuhan-pelabuhan laut di sekitarnya seperti Batam, Bintan, Singapura, Tanjung Pelepas, Johor berkembang dengan pesat secara ekonomi dibandingkan daerah lainnya. Kondisi geografi Selat Malaka dan Selat Singapura yang sangat strategis ini telah mendorong negara-negara dan wilayah-wilayah tersebut menjalin kerjasama dalam mengembangkan perekonomian di kawasan, salah satunya adalah pembentukan segitiga pertumbuhan Singapura-Johor-Riau.
           
            Berbagai upaya yang dilakukan oleh Singapura untuk melindungi kepentingannya di Selat Malaka dan Selat Singapura adalah[7]:

a.       Meningkatkan kemampuan militernya terutama di laut dan udara.
b.      Melakukan kerjasama keamanan dengan negara pantai lainnya.
c.       Membuka fasilitas pelabuhannya untuk perawatan dalam rangka perawatan dan perbaikan kapal-kapal militer AS, terutama yang tergabung pada Armada VII[8]
d.      Membuka wacana tentang peluang bagi AS untuk berpartisipasi dalam melakukan patroli di Selat Malaka. Kehadiran Angkatan Laut AS itu dapat dipandang sebagai “jaminan keamanan” bagi negara pulau tersebut.
            Setelah Konvensi PBB tentang United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 diratifikasi oleh Indonesia dengan UU RI Nomor 17 tahun 1985 di mana konvensi tersebut diberlakukan sebagai hukum positif pada tanggal 16 November 1994, maka status Indonesia sebagai negara kepulauan diakui secara de jure oleh dunia. Pengakuan dunia dalam hukum internasional tersebut berarti Indonesia memiliki legalitas hukum terhadap wilayah nasionalnya yang meliputi wilayah darat, laut, dan udara di atasnya. Demikian pula Indonesia mempunyai kedaulatan dan kewenangan untuk menjaga dan mempertahankan integritas wilayah perairan kepulauan.
B.     Perompakan (Piracy) dan Perampokan Bersenjata (Armed Robbery) di Laut
            Aksi kejahatan terhadap kapal-kapal laut termasuk aksi kejahatan tertua yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Namun penggunaan istilah pirate/peirato digunakan pertama kali pada sekitar 140 SM oleh Ahli Sejarah Roma Polybus. Istilah piracy kemudian untuk pertama kali didefinisikan oleh ahli sejarah Yunani Plutarch pada tahun 100, yaitu orang-orang yang menyerang tanpa dasar hukum tidak hanya terhadap kapal tetapi juga maritime cites.[9]
            Dalam perkembangannya, istilah piracy yang diterjemahkan sebagai perompakan / pembajakan di laut mulai didefinisikan dalam konteks hukum yang lebih jelas dan dibedakan pengertiannya dengan tindakan armed robbery (perampokan bersenjata terhadap kapal di laut), di mana perbedaan dari kedua aksi kejahatan di laut tersebut berdampak pada cara dan tanggung jawab penangannya.[10]
            Permasalahannya kemudian timbul pada saat dihubungkannya penggunaan istilah antara aksi perompakan (piracy) dan perampokan bersenjata terhadap kapal-kapal (armed robbery against ships) dengan pembahasan tentang aksi kejahatan di laut yang terjadi di Selat Malaka dan Selat Singapura.
            Menurut pasal 101 UNCLOS 1982, dijelaskan bahwa perompakan di laut dapat disebut piracy apabila memenuhi unsur-unsur[11]:
a.       Merupakan tindak kekerasan yang tidak sesuai hukum
b.      Untuk tujuan pribadi
c.       Yang dilakukan kepada awak atau penumpang dari private ship atau private aircraft
d.      Terjadi di laut bebas (high seas) atau di tempat lain di luar yurisdiksi nasional suatu negara
            Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang diatur dalam Konvensi ini adalah merupakan tindakan kejahatan di laut yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan pelanggaran terhadap kapal-kapal di laut teritorial tidak dapat dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional. Namun pada kenyataannya justru sebagian besar insiden “pembajakan” di laut terjadi di laut teritorial suatu negara.
            Sementara itu, International Maritime Organization (IMO) juga membedaan istilah piracy dan armed robbery against ship tersebut berdasarkan locus delicti dari aksi kejahatan tersebut. Perompakan (piracy) menurut IMO adalah “unlawful acts as defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on The Law of The Sea”[12]. Sedangkan berdasarkan pasal 2.2 dari IMO MSC Circular No. 984 tentang the draft code of practice for the investiation f The Crimes of piracy and armed robbery against ships, armed robbery against ship didefinisikan pada sebagai berikut:
            “Armed robbery against ships” means any unlawful act of violence or detention or any of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy”, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a state’s jurisdiction over such offenses”[13]
            Dalam dua definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin mempertegas perbedaan dari aksi piracy maupun armed robbery di mana tindak kejahatan di laut dapat dikatakan armed robbery apabila dilakukan di wilayah jurisdiksi suatu negara, sedebih angkan aksi piracy dilakukan di luar jurisdiksi suatu negara.

            Namun, international maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi piracy yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa piracy hendaknya diartikan sebagai:
            “act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereof”[14].
            Konsekwensinya segala tindakan ataupun itikad untuk melakukan tindakan kejahatan di laut maupun di perairan kepulauan suatu negara dianggap sebagai tindakan piracy. Definisi ini juga berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk maksud bongkar muat. Lebih luasnya difinisi piracy yang digunakan oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang mempunyai kepentingan besar terhadap keselamatan pelayaran di laut. Oleh karena itu masalah definisi ini masih ada perbedaan satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim internasional.
            Perbedaan definisi atau pengartian istilah “piracy” di atas, kemudian menimbulkan permasalahan mengenai tanggung jwab dan cara penanganannya ketika diterapkan pada wilayah laut di mana terdapat beberapa wilayah laut teritorial dari beberapa negara yang berhimpitan dan digunakan sebagai jalur internasional yang padat, seperti Selat Malaka dan Selat Singapura.
            Kerancuan penggunaan istilah antara piracy  dan armed robbery against ships yang dibedakan berdasarkan faktor di mana tindak kejahatan di laut dilakukan (locus delicti) tidak menghilangkan adanya masalah serius tentang tindak kejahatan terhadap kapal-kapal di perairan Selat Malaka dan Selat Singapura yang perlu diatasi bersama. Namun demikian, perbedaan definisi ini menjadi permasalahan yang cukup rumit bagi negara-negara pesisir Selat Malaka dan Selat Singapura, terutama dalam rangka menegakan hukum di wilayahnya. Perbedaan ini pula yang menyebabkan data-data yang dikeluarkan oleh IMB, IMO, dan otoritas kelautan suatu negara tidak ada keseragaman.

            Menurut Jayant Abhyankar, perompakan di laut sendiri dapat dikelompokkan dalam empat jenis kategori[15]:
a.       Asian Piracy, yaitu perompakan di laut dengan melakukan pencurian barang-barang berharga, uang yang terdapat pada kapal atau yang dimiliki oleh anak buah kapal. Perompakan jenis ini banyak dilakukan di Selat Malaka dan Selat Singapura.
b.      South American and West African Piracy, yaitu perompakan di laut yang dilakukan dengan cara yang lebih brutal untuk mendapatkan barang-barang berharga di kapal.
c.       Perompakan yang dilatarbelakangi masalah politik. Perompakan ini dapat berupa political piracy, atau berupa maritime terrorism yang saat ini dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius di masa yang akan datang. Sedangkan Political Piracy, yaitu aksi kejahatan di laut dengan tujuan mencari dana untuk membiayai dan mendukung perjuangan ideologi dan politik.
d.      Perompakan di laut dengan cara mengambil alih kapal dan mengambil seluruh muatan kapal. Perompakan jenis ini juga mulai dilakukan di perairan Asia Tenggara.
            Adapun faktor-faktor yang menyebabkan maraknya aksi kejahatan di laut. Faktor-faktor tersebut semakin kompleks karena saling berkaitan satu sama lain dan melibatkan banyak pihak terkait. Faktor-faktor tersebut antara lain:
a.       Situasi ekonomi di kawasan sekitar.
            Situasi ekonomi di suatu kawasan, terutama kawasan pesisir dapat berpengaruh pada perilaku dari kelompok-kelompok masyarakat tersebut, terutama dalam hal bagaimana cara mereka mempertahankan hidup. Masyarakat pesisir sebagian besar hidupnya dikaitkan dengan kemiskinan, kurang berpendidikan, tradisional, dan hidupnya tergantung dengan kondis alam karena rata-rata mereka hidup dengan memanfaatkan hasil laut atau sebagai nelayan.
            Sementara itu tidak jauh dari daerah mereka, berbagai kapal-kapal dari berbagai penjuru dunia yang membawa berbagai jeis muatan berlayar melalui jalur-jalur yang dapat dikatakan “dikuasai” oleh masyarakat pesisir tersebut. Dengan didorong dengan kebutuhan untuk mempertahankan hidup dan dengan latar belakang pendidikan yang rendah, hal ini pada akhirnya menimbulkan suatu peluang untuk memperoleh jalan pintas dalam upaya mempertahankan hidup.
b.      Lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri
            Pemerintah yang tida dapat mengontrol permasalahan dan perkembangan yang terjadi di dalam negerinya, akan menimbulkan peluang bagi sekelompok orang untuk melakukan tindakan sepihak yang menguntungkan dirinya. Kontrol ini dapat secara efektif dilakukan Pemerintah mempunyai political will dan kemampuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Karena dari sudut hukum tata negara, pemerintah adalah badan hukum publik yang bertugas melayani dan melindungi rakyat.
c.       Rendahnya kemampuan para penegak hukum dan sarana pendukungnya
            Penegakan hukum di bidang maritim terdiri dari penegakan hukum di laut, penegakan hukum di kapal dan penegakan hukum di pelabuhan. Semua unsur tersebut seyogyanya saling terkait satu sama lain dan lemahnya salah satu dari unsur penegakan hukum tersebut dapat melemahkan sistem penegakan hukum di laut secara keseluruhan, sehingga berakibat memberi kesempatan atau peluang aksi kejahatan di laut.
            Rendahnya kemampuan para penegak hukum, baik yang bertugas di darat maupun di laut, untuk mengamankan wilayah laut yang sangat luas merupakan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk lebih leluasan melakukan tindak kriminal. Dalam penegakan hukum di perairan Indonesia, apabila dibandingkan dengan luas wilayah perairan Indonesia yang menjadi wilayah sasaran tugas pengamanan dan penegakan hukum di laut, maka tidak ada keseimbangan antara luas wilayah dengan sarana dan prasarana yang ada.
d.      Lemahnya kerjasama negara-negara kawasan
            Aksi kejahatan di laut dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara, khususnya di wilayah-wilayah perairan sempit  seperti di Selat Malaka dan Selat Singapura. Dengan mobilitas pelaku kejahatan yang sangat tinggi, serta target aksi kejahatan di laut juga dapat dengan mudah berpindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya bahkan antar negara. Hal ini menjadikan aksi kejahatan ini tidak lagi dapat ditangani hanya oleh satu negara, tetapi diperlukan suatu kerjasama dengan negara di kawasan.

e.       Lemahnya sistem hukum di bidang maritim
            Selama ini persoalan penegakan hukum dan peraturan di laut senantiasa tumpang tindih dan cenderung menciptakan konflik antar institusi dan aparat pemerintah, serta konflik horizontal antar masyarakat. Oleh karenanya dibutuhkan  perangkat hukum dan peraturan yang dapat menjamin interaksi antar sektor yang saling menguntungkan dan menciptakan hubungan yang optimal. Selain harus dapat menjamin interaksi dan terciptanya koordinasi yang harmonis dan optimal, sistem hukum yang harus ditegakkan saat ini seyogyanya tidak bisa lagi memnadang para pelaku kejahatan di laut merupakan tindakan kriminal biasa, mengingat dampak yang diakibatkan dari aksi-aksinya tersebut. Seyogyanya aksi kejahatan di Selat yang sangat strategis ini dikenai hukuman yang seberat-beratnya, karena tindakannya akan membahayakan perekonomian dan keamanan negara.
f.       Kondisi geografis
            Kondisi geografis suatu wilayah dapat menjadi faktor pemicu suburnya aksi-aksi kejahatan di laut. Para perompak dalam melakukan aksinya tentunya telah mempertimbangkan dan memperhitungkan sarana, sasaran, serta tempat persembunyian yang ideal. Dengan kemampuan kapal yang terbatas yang digunakan, tentunya para pelaku kejahatan akan memilih jalur perdagangan yang sempit dan ramai, bukannya di perairan lepas/terbuka. Sementara itu pulau-pulau yang tersebar, seperti di selat Malaka dan Selat Singapura, merupakan tempat yang untuk bersembunyi atau melarikan diri. Oleh karena itu kehadiran mereka setelah melakukan kejahatan akan sulit terdeteksi oleh aparat.
            Seiring dengan berlakunya UNCLOS 1982 pada tahun 1994, terjadi perubahan persepsi wilayah laut di Asia Tenggara dan juga terjadi penambahan wilayah, yang sebelumnya 3 mil laut diukur dari titik terluar menjadi 12 mil laut. Namun penambahan wilayah laut yang diatur dalam UNCLOS 1982 ini tidak diikuti  dengan peningkatan kemampuan untuk melakukan penegakan hukum laut yang memadai terhadap aksi-aksi kejahatan tersebut yang sebagian besar dilakukan di dalam area 12 mil laut.[16] Oleh karena itu hal ini memberi konsekuensi meningkatnya aksi-aksi kejahatan di perairan Asia Tenggara.
            Walaupun beberapa unsur-unsurnya (pasal 101 UNCLOS) terpenuhi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagian besar aksi kejahatan di Selat Malaka da Singapura ini, sesuai dengan UNCLOS 1982, tidak dapat dikatakan sebagai “piracy” mengingat di Selat Malaka yang terbentang sepanjang 520 mil laut hampir tidak terdapat laut bebas. Perairan Selat Malaka merpakan bagian dari wilayah perairan nasional yang tunduk pada kedaulatan-kedaulatan negara-negara pesisirnya (littoral states), Indonesia, Malaysia, da Singapura. Sedangkan untuk sebagian besar tindak kejahatan yang terjadi di Selat Malaka yang akhir-akhir ini banyak dimuat dalam pemberitaan, istilah yang tepat adalah “armed robbery against ships”, karena terjadi di laut teritorial.
            Aksi-aksi kejahatan tidak hanya menyerang kapal-kapal bermuatan kecil tetapi juga kapal-kapal tanker, kargo, bahkan kapal-kapal yang bermuatan bahan-bahan berbahaya. Dalam beberapa kasus political piracy, aksi-aksi tersebut mencangkup tindak kejahatan terhadap kapal-kapal dan penculikan terhadap awaknya untuk kemudian meminta uang tebusan dengan jumlah tertentu.[17]
            Sebagaimana kita ketahui bahwa Selat Malaka dan Selat Singapura merupakan jalur perdagangan yang sangat strategis tetapi sangat rentan terhadap gangguan-gangguan dari eksternal maupun internal. Maraknya gangguan aksi bersenjata terhadap kapal-kapal yang melintas, menunjukan bahwa sistem pengamanan di wilayah tersebut sangatlah lemah. Apabila hal ini tidak ditangani dengan serius maka dikhawatirkan dapat membuka peluang bagi jaringan teroris melakukan aksinya di wilayah ini.
            Beberapa preseden sudah terjadi, bahwa kegiatan-kegiatan terorisme yang terjadi akhir-akhir ini, sudah melakukan segala cara demi tercapai kepentingan politiknya. Pada tahun 2002, kapal tanker Perancis, Limburg yang membawa minyak di perairan Yaman juga diserang oleh sekelompok teroris dengan menggunakan kapal bermuatan bahan peledak. Informasi mengenai rencana-rencana Al Qaeda untuk menggunakan kapal laut sebagai media atau target aksi mereka juga diperoleh dari hasil investigasi mantan kepala operasi Al Qaeda yang ditangkap di Yaman tahun 2002.[18]
            Walaupun pada perkembangannya sampai saat ini belum dapat dibuktikan keterkaitan langsung antara perompakan (piracy) dan aksi terorisme, kemungkinan adanya kerjasama tersebut adalah sesuatu yang masuk akal. Para perompak karena keahlian dan pengalaman mereka, dapat digunakan oleh para teroris untuk membajak kapal untuk kemudian digunakan melakukan penyelundupan bahan-bahan peledak, serta mereka memanfaatkan lemahnya keamanan di laut untuk menyerang ke target-target yang telah ditentukan.
            Dalam kasus beberapa aksi kejahatan di laut yang dilakukan oleh Moro National Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyaf di wilayah perairan Philipina Selatan, yang dikategorikan sebagai Political Piracy, yang menunjukkan bahwa pelaku-pelaku aksi kejahatan di laut tersebut tidak hanya dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih teroganisir dan mempunyai tujuan politik tertentu di suatu negara. kelompok-kelompok tersebut mempunyai pusat pelatihan bagi para sukarelawannya. Berdasarkan fakta di atas, maka terlihat adanya “benang merah” antara maritime terorisme dengan piracy / aksi kejahatan di laut.[19]
            Piracy / armed robbery dan maritime terrorism sesungguhnya mempunyai keterkaitan satu sama lain yang memiliki persamaan dan perbedaan yang mendasar, yaitu:
a.       Keduanya melakukan tindakan kejahatan di laut dengan kapal sebagai sasaran
b.      Keduanya mempunyai persamaan dalam hal modus operandi yang digunakan
c.       Keduanya merupakan ancaman terhadap stabilitas ekonomi dan politik di kawasan
d.      Piracy dan armed robbery dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi, sedangkan terrorism dilatarbelakangi oleh masalah politik dan ideologi
e.       Maritime terrorism diperkirakan mempunyai dampak yang lebih luas dan besar dari pada piracy / armed robbery, karena salah satu tujuannya adalah menarik pehatian dunia sehingga semaksimal mungkin mengusahakan agar serangan-serangan yang dilakukan dapat berakibat serius dan fatal. Sedangkan aksi piracy  armed robbery cenderung dilakukan diam-diam dan tanpa mengundang perhatian[20]
            Adapun  serangan terorisme di laut dapat dilakukan dalam 2 bentuk yaitu, pertama, melakukan serangan terhadap kapal penumpang dan kapal kargo/tanker, dan yang kedua melakukan serangan dari laut, termasuk menggunakan kapal terhadap target-target di darat/pelabuhan. Kedua serangan tersebut tentunya hanya dapat dilakukan apabila didukung dengan persenjataan dan sistem komunikasi yang cukup canggih.
             Walaupun ancaman terorisme di Selat Malaka dan Selat Singapura masih berupa skenario-skenario  yang  dikembangkan  dari   investigasi   dan pengamatan  dari beberapa  pakar dan sumber, Singapura dan beberapa  negara-negara pengguna Selat saat ini mengkhawatirkan skenario tersebut dapat menjadi kenyataan,   terutama dengan adanya jaringan teroris yang merupakan turunan dari Al Qaeda yang disebut kelompok Jemaah Islamiyah  di wilayah Asia Tenggara. Kekhawatiran ini semakin berkembang, seiring dengan berbagai aksi-aksi terorisme di Indonesia dan semakin besarnya inisiatif dan pengaruh AS di wilayah ini.
            Mengingat Selat Malaka dan Selat Singapura mempunyai kerentanan yang cukup tinggi terhadap berbagai aksi kejahatan di laut dikhawatirkan kelemahan-kelemahan pengamanan dan nilai strategis dari kedua Selat ini akan dimanfaatkan oleh jaringan terorisme. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab AS dan beberapa negara lainnya berupaya memperoleh “pembenaran” untuk berpartisipasi dalam pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura.
            Pengamanan di Selat Malaka dan Selat Singapura tersebut tidak hanya dalam rangka pengamanan kawasan  terhadap serangan terorisme, tetapi juga mencegah digunakan Selat sebagai jalur penyelundupan atau transportasi bahan-bahan kimia yang berbahaya yang digunakan oleh jaringan  terorisme. Pakar terorisme di Amerika, Asia dan Eropa telah memperingatkan bahwa  dalam melakukan tindakannya, teroris akan melakukan penyerangan
dengan menggunakan bahan kimia dan biologi yang berbahaya.[21]
            Dalam kaitan ini, AS secara aktif memperkenalkan dan mensosialisasikan konsep-konsep mulai dari tindakan pencegahan sampai dengan tindakan yang lebih ekstrem, yaitu penggelaran Angkatan Lautnya di wilayah ini.  Beberapa konsep yang diajukan tersebut adalah dalam rangka tindakan berusaha mencari  dukungan tentang konsep interdiksi di laut dalam rangka kebijakan nonproliferasi Weapon of Mass Destruction (WMD), dimana perlunya dilakukan pemeriksaan terhadap kapal-kapal  dari negara-negara tertentu.
             Untuk ini, pada bulan April 2004  AS telah pula menggulirkan gagasan Regional Maritime Security Initiative untuk kawasan Asia Tenggara dalam rangka menerapkan Proliferation Security Initiative (PSI) dengan melakukan tukar menukar informasi dan melakukan tindakan pengawasan, identifikasi dan pencegahan kapal-kapal di laut teritorial maupun di laut internasional. Gagasan ini awalnya akan memfokuskan pada wilayah Selat Malaka. Gagasan ini kemudian dikaitkan dengan pernyataannya mengenai kemungkinan penggelaran Angkatan Laut AS di perairan Selat Malaka (oleh Admiral Thomas Fargo). Dalam hal in, AS berpendapat bahwa adanya kemungkinan dalam aksi “perompakan” (piracy), kapal laut akan digunakan sebagai living bomb untuk menghancurkan kapal-kapal laut lainnya. [22]

            Dalam perkembangannya, Singapura telah menyatakan persetujuannya terhadap gagasan AS di Selat Malaka tersebut. Sedangkan Indonesia dan Malaysia menolaknya  dan beralasan bahwa sesuai dengan ketentuan UNCLOS 1982, tanggung jawab keamanan maritim Selat Malaka sepenuhnya merupakan tanggung jawab bersama littoral States. Berbagai alasan dan keberatan diwacanakan, termasuk argumentasi bahwa keberadaan kekuatan AS di Selat Malaka justru  dapat menyulut ekstrimisme dan militansi gerakan terorisme.
            Namun demikian disadari bahwa, kerjasama dengan AS atau pihak ketiga lainnya tetap diperlukan tidak hanya dalam upaya penangkalan aksi terorisme, tetapi juga aksi kejahatan maritim lainnya, terhadap keamanan selat sepanjang hal itu sejalan dengan Pasal 43 dan Pasal 100 UNCLOS. Bantuan atau kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam bentuk  bantuan peningkatan kemampuan negara-negara pantai, pertukaran informasi/ intelijen, dan bantuan dana.
           
C.    Penanganan Aksi Kejahatan Di Selat Malaka dan Selat Singapura
           
            Aksi Kejahatan di laut adalah salah satu dari isu-isu keamanan non-tradisional pasca era perang dingin. Sebagaimana diketahui bahwa isu-isu keamanan non tradisional merupakan bentuk aksi kejahatan  yang bersifat multi-dimensi dan mengancam keamanan lebih dari satu negara, yang tidak dapat hanya diatasi dengan pendekatan militer saja. Upaya penanganan dalam memerangi aksi kejahatan di laut akan dapat dilakukan secara efektif apabila penyebab atau faktor pemicu dari tindakan tersebut dapat diidentifikasi dan ditangani dengan tepat serta dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan stakeholders.

            Tidak dapat dipungkiri bahwa sesungguhnya sumber/akar permasalahan aksi kejahatan di laut adalah berasal  dari adanya permasalahan yang timbul dan berkembang di daratan. Wilayah laut hanyalah tempat operasi kejahatan, sehingga dengan memfokuskan peningkatan keamanan di laut dengan berbagai bentuk cara, tidak akan berjalan efektif dan hanya akan bersifat sementara saja, jika permasalahan pokok di daratan tidak ditangani dengan baik.
            Akar-akar permasalahan tersebut saat ini masih dihadapi oleh Indonesia dan penanganannya sendiri masih belum dilakukan secara menyeluruh, karena masih adanya berbagai konflik kepentingan sebagai akibat dari berbagai keterbatasan a.l. anggaran, infrastruktur dan sumber daya manusia yang mengakibatkan penanganan yang tidak maksimal. Dalam hal ini tentunya diperlukan komitmen yang kuat dari Pemerintah dan aparatnya untuk menyelesaikan akar-akar permasalahan tersebut.
            Selain melakukan penanganan di dalam negeri, upaya-upaya internasional dalam rangka melawan aksi kejahatan di laut juga perlu dikembangkan. Upaya-upaya tersebut  dapat dilaksananakan dalam dua perspektif yaitu  dalam kerangka hukum/konvensi internasional dan dalam rangka kerjasama internasional.
a.       Dalam kerangka Konvensi Internasional
            Selain diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 100-107, ketentuan dan penanganan mengenai piracy juga telah disampaikan oleh IMO dalam bentuk edaran (circular) kepada
semua negara anggota IMO. IMO telah menerbitkan sejumlah edaran untuk membantu negara-negara dalam melakukan pemberantasan terhadap aksi kejahatan di laut, yaitu:
            Circular no. 622, Recomendations to Governments for Preventing and Suppressing Piracy and Armed Robery Against Ship, yang  merekomendasikan:[23]
a.       pembentukan national action plans;
b.      pengaturan operasional dan infrastruktur yang dianggap perlu;
c.       sistem komando terpadu
d.      manajemen yang efektif dan informasi yang akurat;
e.       rencana keamanan kapal;
f.       kegiatan patroli bersama;
g.      penyesuaian peraturan & hukum nasional untumengakomodasikan   bentuk kerjasama ini.

            Namun demikian, walaupun Edaran-edaran ini telah disampaikan kepada seluruh anggota IMO, kekuatan penerapan dari edaran-edaran IMO tersebut tergantung pada
konsistensi dari pelaksanaannya. Selain itu edaran-edaran ini perlu ditindaklanjuti dengan ketentuan-ketentuan yang lebih teknis.
            Dalam pelaksanaannya, ketentuan UNCLOS  1982 dalam hal ini juga mempunyai beberapa kelemahan, yaitu:
            Sesuai dengan Pasal 100,  negara-negara diharapkan  untuk melakukan kerjasama dalam pemberantasan perompakan di high seas atau  wilayah lain diluar  jurisdiksi dari suatu negara.[24] Dengan demikian, kerjasama internasional  ini  hanya dapat diimplementasikan di laut lepas sedangkan pada perkembangannya, aksi kejahatan di Selat Malaka justru terjadi di laut teritorial. Kelemahan lain dari UNCLOS 1982  adalah struktur organisasi, dimana tidak adanya suatu badan atau organisiasi yang didirikan untuk tujuan memberantas perompakan. Implementasi UNCLOS 1982 saat ini sangat tergantung pada  sistem kerja dan mekanisme   IMO.
            UN General Assembly Resolution A/55/7 tanggal 30 Oktober 2000 juga telah menetapkan  sebuah resolusi dimana negara harus mengambil segala tindakan untuk bekerjasama di tingkat regional termasuk untuk saling mendukung kegiatan investigasi dan kerjasama dengan IMO dalam hal penyampaian laporan kejadian. Resolusi ini juga mendorong agar semua anggota PBB menjadi pihak pada Convention for the Suppression of  Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (SUA Convention).  
            Secara umumnya SUA Convention menyatakan hal-hal sebagai berikut:[25]

a.       Negara-negara yang menjadi pihak setuju untuk bekerjasama dan menjamin bahwa individu-individu yang melakukan pelanggaran tertentu yang membahayakan pelayaran laut internasional akan ditangkap dan didakwabila individu-individu tersebut memasuki wilayah negara manapun yang menjadi pihak konvensi.

b.      Konvensi ini berisi daftar tindakan-tindakan yang dianggap membahayakan keamanan navigasi, termasuk diantaranya pengambilalihan kendali  kapal secara paksa maupun dengan ancaman atau melakukan tindakan kriminal terhadap anak buah kapal. Konvensi ini tidak menyebutkan istilah piracy, tetapi hanya memperluas ruang lingkup punishable offence, termasuk didalamnya pembajakan kapal laut dan armed robbery.[26]
c.       Pelanggaran-pelanggaran tersebut diantaranya, bila seseorang secara melanggar hukum dan secara sengaja:
                        c.1. menghentikan atau mengambil alih suatu kapal dengan kekerasan atau                          jenis ancaman apapun atau dengan bentuk intimidasi apapun, atau
                        c.2. .  melakukan tindakan kejahatan terhadap seseorang diatas kapal dan bila                    tindakan tersebut dapat membahayakan keselamatan pelayaran kapal tersebut

d.      Konvensi berlaku dimanapun tindak kejahatan dilakukan, apakah  di laut wilayah, perairan negara kepulauan, zonaekonomi eksklusif, ataupun di laut bebas.

e.       Negara-negara yang menjadi pihak dari konvensi diwajibkan untuk melakukan peradilan terhadap pelanggaran yang memang merupakan jurisdiksi peradilan negara dimaksud, bila pelanggaran dilakukan:
-       terhadap atau di atas suatu kapal negara tersebut,
-       di dalam wilayah atau laut wilayah negaranya,
-       oleh seseorang berkebangsaan negaranya,
-       oleh seseorang yang berada di wilayah negaranya.

f.       Bila para pelanggar berada di wilayahnya, negara pihak dari konvensi wajib melakukan penahanan dan dapat menyerahkan para pelanggar ke negara lain atau mendakwa para pelanggar di pengadilan negaranya sendiri.

g.      Konvensi mempunyai ketentuan-ketentuan yang memudahkan penyerahan seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap konvensi dari satu negara ke negara lain walaupun tanpa adanya perjanjian ekstradisi antara kedua negara

h.      Negara yang menjadi pihak konvensi diwajibkan untuk mengadakan kerjasama satu sama lain dalam penanganan proses hukum dari tindak kejahatan tersebut
.
i.        Negara yang menjadi pihak pada konvensi juga diwajibkan untuk bekerjasama dalam upaya pencegahan tindak pelanggaran seperti yang tertera di dalam konvensi, terutama dengan cara:
-       mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran di dalam maupun di luar wilayahnya, dan
-       saling tukar menukar informasi dengan cara yang diatur oleh hukum nasionalnya dan melakukan koordinasi maupun bentuk kerjasama lain yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran.

           Menghadapi kelemahan ketentuan UNCLOS 1982 dalam mengantisipasi penyerangan terhadap kapal-kapal di Selat Malaka dan Selat Singapura, SUA Convention dalam hal ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan antisipasi terhadap kemungkinan aksi-aksi penyerangan terhadap kapal laut apabila negara-negara kawasan atau pun littoral states menjadi pihak pada Konvensi ini.

            Namun demikian, ketentuan SUA Convention dalam hal ini juga mempunyai beberapa kelemahan.  SUA Convention dianggap hanya memfokuskan aksi-aksi kejahatan di laut yang berdampak pada keamanan navigasi internasional, antara lain upaya aksi kejahatan terhadap kapal-kapal yang sedang melintas, dimana pengambilalihan kontrol kapal oleh para pelaku kejahatan dapat mengganggu lalu lintas laut di kawasan tersebut.  Namun sebaliknya SUA Convention ini sulit diterapkan pada aksi kejahatan terhadap kapal-kapal yang berlabuh (anchorage) di wilayah teritorial suatu negara. Apabila aksi kejahatan  di kapal-kapal tesebut  hanya melakukan pencurian barang-barang berharga dari anak buah kapal  maupun muatan kapal, maka tentunya tidak memberikan dampak secara langsung  apapun terhadap keamanan
navigasi di laut. Dalam hal ini tentunya hukum nasional  negara dimana kapal tersebut  berlabuh yang harus diterapkan.[27]

b.      Dalam Kerangka Kerjasama Bilateral, Regional dan Multilateral
            Secara khusus, terdapat tiga prinsip menyangkut kerjasama meningkatkan keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Selat Singapura yaitu:[28]
(i)                 tanggung jawab utama bagi keamanan dan keselamatan atas Selat  Malaka dan Selat Singapura berada pada littoral states (Indonesia, Malaysia dan Singapura);
(ii)               ada peran bagi semua stakeholders dalam kerjasama mengenai keamanan dan keselamatan maritim (negara pengguna, industri angkutan laut dan organisasi internasional); dan
(iii)             kerjasama berdasarkan konsultasi dan sesuai dengan ketentuan Hukum Internasional. Kerjasama internasional untuk meningkatkan keamanan dan keselamatan pelayaran di Selat Malaka dan Selat Singapura dilakukan dengan tetap menghormati kedaulatan dan integritas teritorial littoral states.
.         Dalam kerangka kerjasama internasional tersebut, Singapura, Indonesia dan negara-negara pantai lainnya secara bersama-sama telah menjalin kerjasama baik dalam lingkup kecil (bilateral/trilateral) maupun dalam lingkup yang lebih luas (ASEAN atau dengan negara diluar kawasan). Adapun bentuk-bentuk kerjasama Tersebut antara lain:[29]

(i)                 Memorandum of Understanding on Port State Control in the Asia-Pacific Region (Tokyo MoU). MoU ini secara politis mendorong kerjasama dan harmonisasi antar port state untuk meningkatkan keamanan di laut serta melindungi lingkungan laut. Namun MoU ini tidak mengikat secara hukum, sehingga dibutuhkan komitmen politik  yang kuat dari negara-negara penandatangan, termasuk Indonesia, Malaysia dan Singapura untuk melaksanakannya.

(ii)               ASEAN tetap menjadi salah satu pilar pendekatan ketiga negara  dalam rangka menjaga keamanan maritim Asia Tenggara. Dalam hal ini, negara-negara ASEAN sangat menyadari bahwa kestabilan kawasan akan sangtergantung pada kestabilan aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Namun dalam aspek kestabilan keamanan kawasan, negara-negara ASEAN masih memerlukan waktu untuk mengevaluasi kembali  komitmen dan strategi kerjasamanya, khususnya untuk masalah keamanan di laut ini, mengingat masih banyaknya perbedaan kepentingdiantara negara-negara anggota. Adapun  komitmen hukum dan politik yang  telah dilakukan oleh negara-negara ASEAN adalah:

-       Kerjasama maritim antara negara-negara ASEAN telah dinyatakan dalam KTT ASEAN 2003 dan ditegaskan kembali pada Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN di  Jakarta 2004, yang menyatakan bahwa “maritim
cooperation is vital to the evolution of the ASEAN Security Community

-       The ASEAN Declaraction on Transnastional Crime. Deklarasi ini merupakan kesepakatan dari negara-negaraASEAN untuk memperkuat kerjasama regionamenghadapi terorisme, penyelundupan, pencucian uangdan peredaran obat bius.

-       Selain mengadakan pertemuan-pertemuan rutin  yang membahas  kerjasama regional dalam hal keamanan maritim, ASEAN dan negara mitra yang tergabung dalam ARF telah menandatangani  Statement on Cooperation Against Piracy and Other Threats to Maritime Security.

(iii)             Singapura dan Indonesia mempunyai pengaturan bersama (1992) untuk melakukan patroli terkoordinasi dan hot pursuit guna memerangi piracy dan armed robbery di laut. Namun pada perkembangan terakhir mengenai hal ini, Indonesia berkeinginan untuk memperluas konteks kerjasama ini baik dari sisi pihak-pihak terkait (seperti Bea Cukai) maupun wilayah yang dicakup dalam melakukan patroli terkoordinasi. Singapura sampai saat ini belum menanggapi
usulan tersebut.

(iv)             Dalam skema kerjasama patroli terkoordinasi, Singapura, Indonesia dan Malaysia  telah melakukan patroli terkoordinasi secara teratur di Selat Malaka dan Selat Singapura untuk meningkatkan pengamanan di jalur transportasi laut terpadat di dunia itu. Dalam kerjasama patroli terkoordinasi itu, masing-masing negara akan memberikan informasi tentang kejadian-kejadian yang ada di Selat Malaka secara real time. TNI/Angkatan-Laut sejakJuli 2004 telah melakukan patroli terkoordinasi dengan Angkatan Laut Malaysia dan Singapura di perairan Selat Malaka dalam upaya mengantisipasi dan membasmi para perompak laut dan teroris.  Kerjasama ini masih  dianggap belum efektif karena masing-masing angkatan laut  belum dapat leluasa melakukan pengejaran, terutama  apabila pengejaran  tersebut masuk  ke  wilayah  negara lain.



















           
.











BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Oleh karena posisinya yang sangat strategis Selat Malaka dan Selat Singapura dalam lalu lintas perdagangan di mana muatan dalam kapal-kapal yang melintasinya membawa barang-barang dengan nilai properti yang besar , kedua selat terebut banyak dijadikan aksi kejahatan terhadap kapal-kapal laut  (piracy) yang ingin mengambil manfaat / keuntungan dari kapal-kapal tersebut. Kejahatan piracy ini termasuk aksi kejahatan tertua yang telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dalam perkembangannya, istilah piracy yang diterjemahkan sebagai perompakan / pembajakan di laut mulai didefinisikan dalam konteks hukum yang lebih jelas dan dibedakan pengertiannya dengan tindakan armed robbery (perampokan bersenjata terhadap kapal di laut), di mana perbedaan dari kedua aksi kejahatan di laut tersebut berdampak pada cara dan tanggung jawab penangannya. Banyak faktor yag menyebabkan terjadinya aksi kejahatan (piracy / armed robber) di laut ini, antara lain: Situasi ekonomi di kawasan sekitar, lemahnya kontrol pemerintah terhadap permasalahan di dalam negeri, lemahnya sistem hukum di bidang maritim, kondisi geografis
2.      Dalam skema kerjasama dilakukan baik secara bilateral dan multilateral yakni:  adanya patroli terkoordinasi, Singapura, Indonesia dan Malaysia  telah melakukan patroli terkoordinasi secara teratur di Selat Malaka dan Selat Singapura untuk meningkatkan pengamanan di jalur transportasi laut terpadat di dunia itu. Dalam kerjasama patroli terkoordinasi itu, masing-masing negara akan memberikan informasi tentang kejadian-kejadian yang ada di Selat Malaka secara real time. TNI/Angkatan-Laut sejak Juli 2004 telah melakukan patroli terkoordinasi dengan Angkatan Laut Malaysia dan Singapura di perairan Selat Malaka dalam upaya mengantisipasi dan membasmi para perompak laut dan teroris.  Kerjasama ini masih  dianggap belum efektif karena masing-masing angkatan laut  belum dapat leluasa melakukan pengejaran, terutama  apabila pengejaran  tersebut masuk  ke  wilayah  negara lain.


B.     Saran

1.      Dalam rangka menciptakan sebuah rejim, prinsip-prinsip, dan norma serta peraturan dan prosedur dalam rangka menjawab tantangan keamanan maritim, diperlukan penyesuaian satu sama lain antara Indonesia, Singapura dan Malaysia. Membangun kerangka kerjasama  baik secara politik maupun hukum yang komprehensif adalah elemen yang sangat siginifikan  untuk menciptakan keefektifan kerjasama di Selat Malaka dan Selat Singapura, antara lain:

a.       Secara ideal, negara-negara tersebut dapat mengikat dirpada sebuah perjanjian sebagai dasar/payung kerjasama dandiimplementasikan dengan beberapa kerjasama teknis untumenciptakan Selat Malaka dan Selat Singapura menjadwilayah yang aman dan kondusif.

b.      Memformulasi kebijakan bersama yang dapat mencegah dan mengontrol serta menetralisir kegiatan transnational crime.

















DAFTAR PUSTAKA
Jin, Col Kwek Siew, The Maritime Priorities of Singapura, ISEAS
John Mo, Options to Combat Maritime Piracy in Southeast Asea,  Ocean Development & Internastional Law, 2002

Rhenee, Tamara, “Maritime Piracy in Southeast Asia: Challenge and Opportunities for Intra-ASEAN Cooperation”, ISEAS 2004

Valencia, Mark, The Policies of Anti-Piracy and Anti-Terrorism Response in South Asia, ISEAS, 2004

KORAN:
Kukuh Tejomurti, 2011, Koran Analisa Medan,  Buruknya Diplomasi Indonesia di Somalia, Edisi Jum’at, 29 April 2011

SIARAN BERITA:
Siaran “Metro Hari ini”, Metro TV, disiarkan pada tanggal  3 Mei 2011

INTERNET:
Jayant Abhyankar, Piracy, Armed Robbery and Terrorism at Sea in Southeast Asia: a Global Regional Outlook, www.google.co.id//buku_piracy/
www.google.com/pidato _ Mr. Teo Chee Hean_ Menteri_Pertahanan_Singapura_“Regional Cooperation in Maritime Security
 “Keamanan Laut dan Tanggung Jawab Indonesia, Tantangan dan Kendala”, diambil dari: www.google.co.id//makalah /TNI-AL
KONVENSI-KONVENSI:
UNCLOS
SUA CONVENTION







[1] Kukuh Tejomurti, 2011, Koran Analisa Medan,  Buruknya Diplomasi Indonesia di Somalia, Edisi Jum’at, 29 April 2011
[2] Ibid
[3] “Keamanan Laut dan Tanggung Jawab Indonesia, Tantangan dan Kendala”, diambil dari: www.google.co.id//makalah /TNI-AL. Diaakses pada tanggal: 1 Juni 2011
[4]  Joshua Ho, “The Shifting of Maritime  Power and The Implications for Maritime Security in East Asia”, Institute of Defence and Strategic Studies Singapore, June 2004
[5] Tamara Rhenee See, “Maritime Piracy in Southeast Asia: Challenge and Opportunities for Intra-ASEAN Cooperation”, ISEAS 2004
[6] www.kbrisingapura.com/buku_piracy/, diakses pada tanggal 7 Juni 2011
[7] Col Kwek Siew Jin, The Maritime Priorities of Singapura, ISEAS
[8] Mark Valencia, The Policies of Anti-Piracy and Anti-Terrorism Response in South Asia, ISEAS, 2004
[9] www.pirateinfo.com, diakses pada tanggal 3 Juni 2011
[10] www.piracysingapura.com/buku_piracy/, diakses pada tanggal 3 Juni 2011
[11] Pasal 101, United Nation Convenstion on The Law of The  Sea (UNCLOS).
[12] IMO draft Code of Practice
[13] Ibid
[15] Jayant Abhyankar, Piracy, Armed Robbery and Terrorism at Sea in Southeast Asia: a Global Regional Outlook, www.google.co.id//Maritime_terrorism_piracy_in_Asia/306, diakses pada tanggal: 6 Juni 2011
[16] Tamara Renee, opcit
[17] Siaran “Metro Hari ini”, Metro TV, disiarkan pada tanggal  3 Mei 2011
[18] www.google.co.id/berita_terorisme_asia_tenggara, diakses pada tanggal 3 Juni 2011
[19] www.kbrisingapura.com/buku_piracy/, diakses pada tanggal 3 Juni 2011
[20] ibid
[21] Michael Richarson, Opcit
[22] www.kbrisingapura.com, diakses pada tanggal 3 Juni 2011
[23] www.kbrisingapura.com/buku_piracy, diakses pada tanggal 3 Juni 2011
[24] Pasal 100  UNCLOS
[25] SUA Convention 1988
[26] SUA Convention Pasal 3
[27] John Mo, Options to Combat Maritime Piracy in Southeast Asea,  Ocean Development & Internastional Law, 2002
[28] www.google.com/pidato _ Mr. Teo Chee Hean_ Menteri_Pertahanan_Singapura_“Regional Cooperation in Maritime Security/, diakses pada tanggal 3 Juni 2011

[29] www.kbrisingapura.com, diakses pada tanggal 3 Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar