Senin, 19 November 2012

Officially missing you

                  This is how i feel, whenever i am with you...everything is all about you, too good to be true.
                even know we are a part i can feel you here next to me..here and now i will love stay with me..you are the one for me, you are the light of my soul..let me hold you with my arms.. :-)

Minggu, 16 September 2012

Chuo University Student Exchange Program

Chuo University, Japan is offering an exchange program for undergraduate and graduate students of UGM. The program will be held for one semester and one year, starts April 2013 and September 2013, with guaranteed university accomodation and estimated living cost JPY 100,000/month. All courses will be taught in Japanese, so Chuo University also offers free Japanese language course for international students. Please click here for the list of courses offered in English.
For those who are interested, please submit these required documents:
  1. Application form (click here to download).
  2. Certificate of health (click here to download).
  3. Motivation letter (250 – 500 words).
  4. Certificate of enrollment from your faculty.
  5. Letter of recommendation from your faculty.
  6. Copy of TOEFL certificate (minimum score 520) or Japanese proficiency test certificate.
  7. Copy of your transcript (minimum GPA 3.00).
  8. Copy of your passport.
to OIA UGM before October 20, 2012 (for April 2013 admission) and April 20, 2013 (for September 2013 admission). For more detailed information about this program please visit http://global.chuo-u.ac.jp/english/admissions/exchange/general.php.

Share on
« Call for Papers: Ritsumeikan Center for Asia Pacific Studies (RCAPS)
2012 ASEAN Student Forum: Molding the ASEAN Mind »

Selasa, 14 Agustus 2012

Membangun Karakter Bangsa

Karakter berbeda dengan temperamen. Temperamen merupakan corak reaksi seseorang terhadap berbagai rangsangan dari luar dan dari dalam. Ia berhubungan erat dengan kondisi biopsikologi seseorang, sehingga sangat sulit diubah karena ia dipengaruhi oleh unsur hormon yang bersifat psikologis. Sedang karakter terbentuk melalui perjalanan hidup seseorang. Ia dibangun oleh pengetahuan, pengalaman, serta penilaian terhadap pengalaman itu. Kepribadian dan karakter yang baik merupakan interaksi seluruh totalitas manusia. Dalam bahasa Islam, dia dinamai 'rusyd'. Ia bukan saja nalar, tetapi gabungan dari nalar, kesadaran moral, dan kesucian jiwa.

Karakter terpuji merupakan hasil internalisasi nilai-nilai agama dan moral pada diri seseorang yang ditandai oleh sikap dan perilaku positif. Karena itu, ia berkaitan sangat erat dengan kalbu. Bisa saja seseorang memiliki pengetahuan yang dalam, tetapi tidak memiliki karakter terpuji. Sebaliknya, bisa saja seseorang yang amat terbatas pengetahuannya, namun karakternya sangat terpuji. "Sesungguhnya dalam diri manusia ada suatu gumpalan, kalau ia baik, baiklah seluruh (kegiatan) jasad dan kalau buruk, buruk pula seluruh (kegiatan) jasad. Gumpalan itu adalah hati".(Hadis)

Memang ilmu tidak mampu menciptakan akhlak atau iman, ia hanya mampu mengukuhkannya, dan karena itu pula mengasuh kalbu sambil mengasah nalar, memperkukuh karakter seseorang. Dalam konteks membangun moral bangsa, maka diperlukan nilai-nilai yang harus disepakati dan dihayati bersama.

Disepakati karena kalau setiap orang diberi kebebasan untuk menentukan nilai itu, maka seseorang perampok misalnya, akan menilai bahwa mengambil hak orang lain adalah tujuan dan bahwa kekuatan adalah tolak ukur hubungan antar masyarakat. Ini tentu saja akan merugikan masyarakat bahwa pada akhirnya merugikan diri yang bersangkutan sendiri. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak memberi kesempatan kepada manusia untuk memilih, maka ketika itu kita telah menjadikannya bagaikan mesin bukan lagi manusia yang memiliki kehendak, tanggung jawab, dan cita-cita. Manusia harus memiliki pilihan, tetapi pilihan tersebut bukan pilihan perorang secara individu tetapi pilihan mereka secara kolektif. Dari sini setiap masyarakat akan secara kolektif bebas memilih pandangan hidup, nilai-nilai, dan tolak ukur moralnya dan hasil pilihan itulah yang dinamai jati diri bangsa.Dengan demikian, jati diri bangsa terkait erat dengan kesadaran kolektif yang terbentuk melalui proses yang panjang. Memang rumusannya dicetuskan oleh kearifan the founding fathers bangsa, tetapi itu mereka gali dari masyarakat dan karena itu pula maka masyarakat menyepakatinya. Jati diri bangsa Indonesia yang kita sepakati adalah Pancasila.

Nilai-nilai yang disepakati itu harus dihayati, karena hanya dengan penghayatan nilai dapat berfungsi dalam kehidupan ini. Hanya dengan penghayatan karakter dapat terbentuk. Sebaliknya,nilai-nilai yang dihayati seseorang atau satu bangsa dapat dikukur melalui karakternya. Perubahan yang terjadi pada karakter, bisa jadi karena perubahan nilai yang dianut atas dasar kesadaran mereka,dan bisa juga karena terperdaya atau lupa oleh satu dan lain sebab. Begitu pula, bila terdapat hal-hal dalam diri anggota masyarakat yang bertentangan dengan jati diri dan tujuan itu, maka semestinya masyarakat meluruskan hal tersebut sehingga terjadi keharmonisan antara ego setiap individu dan kepentingan masyarakat. Di sini terlihat betapa pentingnya melakukan apa yang diistilahkan dengan "Character and Nation Building".

Masyarakat melakukan hal tersebut melalui pendidikan. Di sinilah terukur keberhasilan dan kegagalan pendidikan. Karena itu pula, ukuran keberhasilan lembaga pendidikan, khususnya Perguruan Tinggi, bukan saja melalui kedalaman ilmu dan ketajaman nalar para pengajarnya tetapi juga pada kecerdasan emosi dan spiritual sivitas akademikanya. Kecerdasan intelektual jika tidak dibarengi dengan kedua kecerdasan di atas, maka manusia dan kemanusiaan seluruhnya akan terjerumus dalam jurang kebinasaan. Sebaliknya, jika kecerdasan intelektual dibarengi oleh kedua kecerdasan itu, maka keduanya akan membimbing seseorang untuk menggunakan pengetahuannya menuju kebaikan, yang pada gilirannya menghasilkan aneka buah segar yang bermanfaat bagi diri masyarakat, bahkan kemanusiaan seluruhnya.

Pembentukan karakter bangsa harus bermula dari individu anggota-anggota masyarakatnya, karena masyarakat adalah kumpulan individu yang hidup di satu tempat dengan nilai-nila yang merekatkan mereka. Setiap individu lahir dalam keadaan hampa budaya, lalu masyarakat yang membentuk budaya dan nilai-nilainya yang lahir dari pilihan dan kesepakatan mereka.

Membentuk karakter individu bermula dari pemahaman tentang diri sebagai manusia,potensi postif dan negatifnya, serta tujuan kehadirannya di pentas bumi ini. Selanjutnya, karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat religius, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, maka tentu saja pemahaman tentang hal-hal tersebut harus bersumber dari ajaran agama (Tuhan Yang Maha Esa).

Untuk mewujudkan karakter yang dikehendaki diperlukan lingkungan yang kondusif, pelatihan dan pembiasaan, persepsi terhadap pengalaman hidup, dan lain-lain. Di sisi lain karakter yang baik harus terus diasah dan diasuh, karena ia adalah proses pendakian tanpa akhir. Dalam bahasa agama, penganugerahan hidayah Tuhan tidak terbatas sebagaimana tidak bertepinya samudra ilmu, "Tidak menambah hidayahnya bagi orang yang telah memperolah hidayah", dan Tuhan pun memerintahkan manusia pilihannya untuk terus memohon tambahan pengetahuan. Praktik ibadah yang ditetapkan agama bukan saja cara untuk meraih karakter yang baik, tetapi juga cara untuk memelihara karakter itu dari aneka pengaruh negatif yang bersumber dari dalam diri manusia dan lingkungan luarnya, sekaligus ia adalah cara untuk mendaki menuju puncak karakter terbaik, yang dalam ajaran Islam adalah upaya untuk meneladani sifat-ifat Tuhan yang tidak terbatas itu. Karenanya ibadah harus terus berlanjut hingga akhir hayat, dan ini berarti pembentukan karakter adalah sebuah proses tanpa henti.

Kalau meruju pada ajaran agama dan keberhasilan para nabi serta penganjur kebaikan, maka ditemukan sekaian banyak cara yang mereka tempuh yang akhirnya mengantar kepada keberhasilan mereka. Para nabi dan penganjur kebaikan di samping menjelaskan dan mengingatkan tentang baik dan buruk, mereka justru lebih banyak olah jiwa dan pembiasaan, dengan aneka pengamalan yang kalau perlu pada mulanya dibuat-buat, bukan oleh dorongan kemunafikan tetapi agar menjadi kebiasaan dan watak.Mereka juga mengemukakan aneka pengalaman sejarah masyarakat dan tokoh-tokoh masa lampau. Di samping itu, mereka berusaha sekuat kemampuan untuk mengurangi sedapat mungkin pengaruh negatif lingkungan, karena melalui lingkungan watak dapat berubah menjadi positif atau negatif. Hanya saja, perlu dicatat bahwa pada umumnya pengaruh negatif lingkungan lebih mudah diserap daripada pengaruh positifnya. Dan, pendekatan yang mereka lakukan guna menciptakan watak masyarakat adalah pendekatan buttom-up, yang mereka tularkan kepada keluarga, lalu sahabat dan handai tolan dalam lingkungan kecil, hingga seluruh masyarakat. Amin.
Oleh: Quraish SHihab

Sabtu, 11 Agustus 2012

Keindahan Toleransi Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain

Meski di berbagai tempat Alquran mengkritik dan meluruskan beberapa ajaran ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani, tetapi Alquran tetap mengakui keragaman dalam keyakinan/akidah dan syariah. Bahkan Islam tidak memaksa manusia untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama di dunia. Melalui informasi Alquran, Nabi Muhammad saw sangat mengerti bahwa setiap upaya pemaksaan terhadap suatu agama akan mengalami kegagalan, sebab itu bukan hanya menyalahi hukum kebiasaan tetapi juga bertentangan dengan kehendak Tuhan.

"Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat," (QS 11:118).

Perbedaan dalam ayat di atas diungkapkan dalam bentuk kata kerja masa kini dan mendatang (mudhari), sehingga mengesankan perbedaan tersebut, yang menurut ar-Razi berupa keragaman agama, adalah sesuatu yang selalu ada pada setiap zaman, masa lalu, kini, dan mendatang.

Dalam ayat lain, Allah berfirman: " Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya," (QS 10:99).

Dari sini Alquran menetapkan prinsip kebebasan bergama agar para penganut agama yang beragam dapat hidup berdampingan, aman, damai dan sejahtera. Tidak ada paksaan dalam beragama (QS Al-Baqarah:256). Prinsip ini telah dinyatakan jauh sebelum dunia menetapkan kebebasan beragama pasca Revolusi Prancis pada tanggal 4 Agustus 1789 dan baru terealisasi pada tahun 1791 yang ditandai dengan berakhirnya diskriminasi terhadap kelompok Yahudi.

Salah satu bukti nyata penegakkan prinsip ini, Islam membiarkan rumah-rumah ibadah di wilayah yang dikuasainya berdiri dan tidak merusak atau menghancurkannya. Ketika berhasil menaklukkan Yerusalem, Khalifah kedua, Umar ra, memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, “Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan juga tidak boleh disakiti,".

Dalam hal ini, Islam tidak hanya mengambil sikap pasif dengan tidak memperkenankan pemaksaan dalam beragama, tetapi selangkah lebih maju karena Islam memberikan penghormatan dengan memberikan hak-hak sepenuhnya kepada setiap jiwa manusia sampai pun dia seorang non-Muslim.

Ungkapan Nabi saw yang sangat populer dalam hal ini: 'lahum ma lana wa ‘alayhim ma ‘alayna' (mereka/non-Muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita umat Islam). Selain kebebasan beragama dalam bentuk pendirian rumah ibadah dan penyelenggaraan ritual keagamaan, mereka memiliki hak-hak yang dijamin oleh Islam seperti hak persamaan dalam perlakuan, hak perlindungan terhadap jiwa dan harta, hak jaminan sosial dan sebagainya.

Di dalam Islam tidak dikenal fanatisme agama dalam pengertian sempit yang berakibat pada perlakuan diskriminasif terhadap agama lain. Universalitas dakwah Islam menuntut cara-cara santun agar tercipta stabilitas dan kedamaian untuk semua umat manusia. Untuk mewujudkan misi damai hidup berdampingan antara umat-umat beragama Alquran menetapkan kaidah perbedaan agama tidak sepatutnya menghalangi kita berlaku baik dan adil terhadap yang berbeda.

Dialog merupakan upaya untuk hidup berdampingan di tengah kemajemukan yang merupakan sunnah kehidupan. Karena itu, dalam dialog harus ada pengakuan penghormatan terhadap eksistensi masing-masing. Segala sesuatu yang dapat menyinggung perasaan orang lain, sekecil apapun itu, harus dihindari. Dalam berdialog dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrik Alquran menggunakan kata-kata santun dan bersahabat, seperti “wahai orang-orang kafir” atau musyrik, kecuali hanya di satu tempat di surah al-Kafirun. Menurut sebab pewahyuannya, surah itu menggunakan kata “wahai orang –orang kafir” untuk menepis harapan orang-orang musyrik saat itu agar umat Islam rela menanggalkan ajaran tauhid yang mereka yakini. Itu pun kemudian ditutup dengan sebuah sikap toleran, “lakum dinukum waliya din" (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

Jika menyinggung perasaan saja harus dihindari apalagi sampai mencela atau mencaci keyakinan orang yang berbeda agama. Allah berfirman:"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan."(QS 6:108).

Begitu banyak persamaan yang terdapat dalam agama-agama. Seperti dikatakan Prof Dr Ali as-Saman, Ketua Komisi dialog Antaragama Mesir, “Tidak ada konflik agama, yang terjadi adalah konflik anatara kekuatan politik atau ekonomi yang menjadikan agama sebagai perisai/tameng untuk melancarkan gempuran dan serangan.
Melalui dialog diharapkan kebekuan hubungan semakin mencair, sehingga tidak ada lagi kebencian dan fanatisme di antara para pemeluk agama. Melalui budaya dialog akan lahir sikap kasih sayang, semangat persaudaraan dan toleransi yang akan menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Dialog antara pemeluk agama menjadi semakin penting di tengah gempuran ateisme modern dan globalisasi yang mengesampingkan nilai-nilai spiritual dan moral".
 

Oleh:Muchlis M Hanafi

Jihad Bukan Kekerasan dan Terorisme

Salah satu konsep Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah jihad. Konsep jihad sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya secara baik, benar dan utuh. Secara bahasa menurut pakar Alquran, Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kamus kosakata Alquran-nya (al-mufradat), jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta dan pikiran untuk mengalahkan musuh.

Karena itu Al-Ishfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1). Menghadapi musuh yang nyata; 2) Menghadapi setan; 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam diri masing-masing. Diantara ketiga macam jihad ini yang terberat adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagai mana sabda Rasulullah saw ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran; "kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”

Memahami jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat Alquran membuktikan bahwa Rasulullah saw telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Makkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijriah, tepatnya 17 Ramadan dengan meletusnya Perang Badar, yaitu setelah turun ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti pada QS Al-Hajj (22): 39-40: "Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:"Rabb kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Seungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa."

Ayat ini menunjukkan perang yang diperkenankan adalah dalam rangka mempertahankan diri, agama, dan tanah air. Fitrah manusia cenderung tidak menyukai perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. QS Al-Baqarah ayat 216 menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan dunia luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi tertentu seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan perang terhadap Islam, Islam mengizinkan perang.

Mayoritas ulama Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Para ahli hukum Islam (Fuqaha) dari kalangan empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam Islam adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir, bukan karena kekafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka sudah menjadi kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena kekafiran atau perbedaan agama. Karena itu tidak boleh menyerang seseorang lantaran berbeda agama atau kafir, tetapi hanya boleh jika ia menyerang lebih dahulu.

Dari sini amat keliru pandangan sementara intelektual Barat yang menyatakan “Islam jaya di atas pedang”, Islam tersebar dengan jalan perang”. Sejarah membuktikan sebaliknya. Dibanyak belahan dunia, seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai. Inilah yang membuat pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel Gustav Le Bon, sejarawan terkenal asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan pedang. Apalagi kalau kita pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari Tuhan setelah 15 tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.

Jihad dengan pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang dengan terorisme yang secara bahasa berarti ‘menimbulkan kengerian pada orang lain yang biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu’.

Jihad dengan pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan beragama. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama (QS al-Baqarah :256 dan QS.al-Kahfi : 29).

Mufti besar Mesir, Prof Dr Syekh Ali Jumu’ah, menyebutkan 6 syarat dan etika perang dalam Islam yang membedakannya dengan terorisme, yaitu:

1. Cara dan tujuannya jelas dan mulia;
2. Perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3. Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4. Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi;
5. Memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, menermati air dan sumur, merusak rumah/bangunan;
6. Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.

Dari sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang majma’ al-Fiqh al-Islam no 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional poin kelima menyatakan, “perlu diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian yang sebenarnya."
Oleh: Muchlis M Hanafi 

DOSA ZINA



Zina adalah hubungan seksual tanpa akad nikah yang sah, dan itu diharamkan oleh Islam. Akan tetapi, walau demikian, tidak serta merta setiap orang yang berzina atau bahkan ditemukan berzina, otomatis didera (cambuk), karena ada syarat-syarat yang harus terpenuhi untuk menjatuhkan hukuman tersebut, antara lain adanya empat orang saksi yang melihat secara nyata “masuknya pedang ke sarungnya”. Kalau hanya tiga orang yang melihat yang demikian, atau keempatnya hanya melihat sepasang pria dan wanita di tempat tidur tanpa busana misalnya, maka hukuman dera itu pun belum dijatuhkan.

Saya menduga keras bahwa hukum dera yang ditetapkan Allah itu lebih bersifat ancaman, apalagi ada anjuran agama untuk melarang orang-orang Mukmin mendekati tempat-tempat yang tidak wajar, yang di tempat itu perzinaan serta pelanggaran-pelanggaran agama dapat terjadi. Karena itu tidak keliru bila dikatakan bahwa hukuman tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang melakukan perzinaan dengan sikap "menantang dan tanpa malu".

Yang berwewenang menjatuhi hukuman pun hendaknya mempelajari keadaan tersangka atau tertuduh. Kalau dinilai bahwa yang bersangkutan tergelincir maka selayaknya dia dibebaskan dari hukuman. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah.

Ulama besar Ibnu Hazm juga berpendapat bahwa taubat mengakibatkan tidak dilaksanakannya ancaman hukuman. Sementara itu, Muhammad al-Ghazali, dalam bukunya Hadza Dinuna (Inilah Agama Kita, 1965: 188), mengemukakan juga riwayat yang menyatakan bahwa Imam Syfi‘ dalam pendapat lamanya juga berpendapat demikian.

Banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW berupaya untuk tidak menjatuhkan sanksi itu bagi yang datang mengadukan dirinya telah berzina, karena pengakuan tersebut dapat dinilai taubat yang sebenarnya.

Cara menebus dosa dari berzina –juga dosa-dosa besar lainnya—adalah dengan bertobat. Allah berfirman; "Hai orang-orang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya; Pasti Tuhan kamu menghapus kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai…" [QS at-Tahrm [66]: 8].

Taubat yang semurni-murninya dalam hal ini merupakan taubat yang mencangkup masa lalu dengan menyesali dosa, masa kini dengan menghentikannya dan masa datang dengan tekad tidak melakukannya tidak pula ingin melakukannya. Taubat yang nasuh adalah yang pelakunya tidak terbetik lagi dalam benaknya keinginan untuk mengulangi perbuatannya, karena setiap saat ia diingatkan dan dinasihati oleh taubatnya itu.

Menurut al-Qurthubi, taubat yang nash adalah yang memenuhi empat syarat. Istighfar dengan lisan, meninggalkan dosa dengan anggota badan, memantapkan niat untuk tidak mengulanginya, dan meninggalkan semua teman buruk. Karenanya, bersegeralah melakukan taubat nasuha, karena agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapapun dosa yang telah diperbuat manusia.

Demikian, wallhu a‘lam.

(M Quraish Shihab)

Jumat, 10 Agustus 2012

The Challenge in International Commercial Arbitration

International commercial arbitration has been vastly developed as one of the most efficient and preferable methods of commercial dispute resolution internationally — one which results in the involvement of parties worldwide that come from different legal systems. Such differing backgrounds often result in some gaps or unfamiliarity within the arbitration proceedings, including when it comes to the rules of evidence, as each legal system has its own rules of evidence.

The laws of evidence are the rules that govern the relevance, admissibility and weight of documentary and oral evidence tendered by a party, including the preparation and presentation of documents, witnesses of fact, expert witnesses and inspections, and the actual conduct of evidentiary hearings, in order to support or contest a fact in issue in the course of legal proceedings. Such laws of evidence vary across countries due to the variety of legal systems. Such variety is also reflected in various international commercial arbitration rules.

Only the The American Arbitration Association (AAA) and the United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Rules contain provision concerning the burden of proof. Those regulations stipulate that each party has the burden of proving the facts relied on to support its claim or defense, with the only exception related to the propositions that are so obvious, or notorious, that proof is not required.

In general, it can be distinguished that there are three basic standards of proof applied in international arbitrations, i.e. a general, underlying standard, an elevated burden of proof, and a very low standard or insufficient explanation of the reasoning.

Regarding the first, a general standard is perhaps a reference to the principle known by common law lawyers as a balance of probabilities, i.e. the evidence must show that something is more likely to be true than not be true, but the standard is not as great as is required for criminal convictions.

Civil law lawyers, in contrast, are more accustomed to what may be a higher burden of proof referring to the inner conviction of the judge. However, in any circumstances, it should be realized that the real general standard is and must be a test of preponderance of evidence.

Document disclosure under the common law system means the disclosure of all relevant documents. It is seen as an obligation for a party to produce every single relevant and admissible document in its possession to the court, not merely the one that supports its case. The failure to comply with a disclosure order in litigation proceedings may lead to severe sanctions.

This phase is commonly executed after the submissions of the parties’ claims and defenses (which usually do not contain evidence), but before the exchange of witness statements and the commencement of the hearing.

In general, the provisions concerning discovery in IBA Rules on the Taking of Evidence in International Arbitration (IBA Rules) allow one party to request that the other party produce some additional documents to the Tribunal.

However, such a request is subject to certain limitations. For example, a request for production of documents must contain a description of a particular document or a category of documents, with sufficient particularity to enable it to be identified, and a description of how the document is relevant to the proceeding. It must also be accompanied with a statement that the document is not in the possession of the party making the request and why it believes it is in the possession of the party to whom the request is being made.

Although discovery of evidence is currently quite common in international commercial arbitrations, such a thing is often a new experience for parties domiciled in civil law countries, where such discovery is not permitted under local law. For such parties, the discovery process carries obvious risks.

In international commercial arbitration, the discovery phase is commonly known as the “pre-hearing discovery” phase, as it is mostly conducted before the commencement of the hearing.

In the International Chamber of Commerce (ICC) of the Court of Arbitration and SIAC (Singapore International Arbitration Centre) arbitration proceedings, the pre-hearing discovery stage is initiated by the issuance of the Procedural Order by the Tribunal, which clearly orders each party to submit a request for disclosure of the documents considered relevant to the case, and thereafter obliges every party who has been requested, to provide such required documentary evidence to the court and exchange it with the other party within the time limit set out by the Tribunal in the Procedural Order.

Under the Indonesian civil law system, judges in civil proceedings are bound by the principle of “passive judge”. The “passive judge” principle means that the civil judge’s authority to accept and dispute the issues in the dispute are limited only to claims and evidence submitted by the parties. Therefore, the judges are not allowed to ask the party to submit or add additional evidence during the proceeding.

Even though the Arbitration Rules in the Indonesian National Arbitration Agency (BANI) are different from the normal rules of civil litigation proceedings in Indonesia, the rules applied in BANI are derived from the rules of civil litigation proceedings, which governed in Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) or Indonesian Civil Procedural Code.

Until now, Law No. 30/1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (Indonesian Arbitration Law) and BANI procedures have not stipulate the discovery of documentary evidence, therefore arbitration proceedings at BANI have not yet recognized and applied the process of discovery found in international commercial arbitration.

There is only one provision under Indonesian Arbitration Law which authorizes the arbitrator or arbitration tribunal to require the parties to provide written submissions of explanations, documentary or other evidence as may be deemed necessary, within the time limitation as determined by the arbitrator or the arbitral tribunal.

Nevertheless, with continued legal knowledge development of BANI’s arbitrators concerning the applicable procedures in international commercial arbitration, BANI arbitrators are currently being more flexible in utilizing the Indonesian Arbitration Law that authorizes them to order the parties to produce additional documents, and less strict in applying the “passive judge” principle.

The underlying importance of gathering all possible evidence is to find and prove the material fact(s). This aim could be achieved by requiring the parties to present and show all of the evidence to support and strengthen their arguments. Each party’s argument would be judged by the arbitrator based on the presented evidence and subsequently the award will be rendered.

The principle of fairness becomes the key in the mechanism of evidence in arbitration, and the effort to balance the process of evidence, i.e. on the one side by observing written evidence, but on the other side by also observing the witness testimony, is something that should be implemented comprehensively.

An active role on the part of the arbitrator is required to explore the evidence and testimony in order to find out the material fact(s) of the case, which will eventually lead to the issuance of a just and impartial award.

The process of discovery of documentary evidence should be implemented comprehensively in all forums of arbitration, while still respecting the applicable legal system in the lex loci arbitri.
Do'a & do the best, keep on fighting for the better Indonesia..

Minggu, 05 Agustus 2012

Intervention in the Rohingya issue: Is it the right move?

Demand for Indonesia’s intervention to stop sectarian conflict in Rakhine state, Myanmar, is looming large. Recently, Indonesian student associations (PPI) in countries like Portugal, the Czech Republic, and the United Kingdom wrote to House of Representatives Speaker Marzuki Ali and other institutions, asking Indonesia to raise the Rohingya issue at the upcoming ASEAN meeting.

Presidential spokesperson Julian Aldrin Pasha said Indonesia would bring the issue to the Organization of Islamic Cooperation (OIC) instead.

I am critical of this move and suggest that we need to be careful before taking such steps. Ethnic conflict is a very complicated issue, requiring us to understand the root of the problem in detail, and to design the right strategy.

The Rohingya are part of an ethnic, linguistic and religious minority both in Myanmar and the province of Rakhine, formerly known as Arakan. Unlike majority Theravada Buddhist Burmese and the majority of Rakhine, who speak either Burmese or Rakhine, the Muslim
Rohingya speak Bengali.

The Rohingya claim they are descendents of Moorish, Arab and Persian traders, and Moghul, Turk, Pathan and Bengali soldiers and migrants (Ahmed, 2009). M. E. Huq and Karim (1935) said “Islam began to spread to the eastern bank of the Meghna to Arakan since the 8th and 9th centuries AD, long before the establishment of the Muslim kingdom in the frontier region”.

Between the 15th and 19th centuries, Islamic influence grew wider across the Bengal-Arakan frontier region, an in particular, Northern Arakan.

After the 1962 military coup that brought Myanmar’s current regime to power, the Rohingya were systematically denied their civil, political, economic and social human rights, culminating in the Burmese Citizenship Act of 1982.

The Myanmarese regime’s policy of extermination, ethnic cleansing and genocide of Rohingya forced the current generation of Rohingya to flee from their homes and seek protection in refugee camps in Bangladesh.

In the late 1970s, the King Dragon Operation (or Naga-Min) drove about 250,000 Rohingya out of Myanmar and entered Bangladesh (Banglapedia, 2006).

Initially, the Bangladesh government welcomed the Rohingya and made efforts to accommodate them. Bangladesh appealed to the United Nations (UN) for assistance, and eventually announced that it could not continue to shelter the Rohingya indefinitely.

By the end of 1979, more than 180,000 Rohingya had been repatriated to Myanmar (United Nations High Commissioner for Refugees, 2006). But in 1991 and 1992, when the Pyi Thaya Operation led about 250,000 Rohingya to Bangladesh, that flow was reversed as the government of Bangladesh had lost patience (Banglapedia, 2006).

The Rohingya also made their way to Indonesia. In January and February of this year, thousands of emaciated Rohingya on rickety boats reached shorelines in Sumatra and Thailand. Now there are about 394 Rohingya left in Indonesia, many of them kept in detention centers, and who need an immediate and urgent solution.

However, the root cause of the current conflict in Myanmar is different to the previous turmoil. The violence now underway amounts to a communal conflict, not state-sponsored conflict.

The current clash erupted in early June after reports circulated that on May 28 an Arakan Buddhist woman was raped and killed in the town of Ramri by three Muslim men.

Details of the crime were circulated locally in an provocative pamphlet, and on June 3 a large group of Arakan villagers in Toungop stopped a bus and brutally killed 10 Muslims on board.

In retaliation, on June 8, thousands of Rohingya rioted in Maungdaw town after Friday prayers, killing an unknown number of Arakan people and destroying their property. The conflict between Rohingya and Arakan then swept through Sittwe and into surrounding areas.

However, it is hard to corroborate the news because Arakan state is very much isolated. Many human rights activists, journalists and aid workers are struggling to reach the Rohingya. Indeed, there are no credible reports from UN bodies thus far.

Indonesia has planned to initiate diplomatic efforts by bringing this issue to the ASEAN inter-parliamentary assembly and the OIC. This move, however, is not without risks as it could harm diplomatic relations between Indonesia and Myanmar. Myanmar would also be suspicious about Indonesia’s intervention. For a long time, the Rohingya have asked for independence, and Indonesia could be accused of supporting the separatist movement.

The militancy of the Rohingya Solidarity Organization (RSO) and the Arakan Rohingya Islamic Front (ARIF) is well known. When founded, the activities of both organizations were restricted to Arakan, but following a series of incidents, and the disappointment of not finding refuge in Bangladesh, they have expanded their operations beyond the Southeastern region of Bangladesh.

According to reports, members of al-Qaeda-linked Jamaah Islamiah, which was responsible for a series of bomb attacks in Indonesia, are hiding in the Rohingya camps (Lintner, 2009). In recent years, these camps have, in effect, been run by Bangladesh’s most extreme Islamic outfit, the Harkat-ul-Jihad-i-Islami (HuJI), which was set up in 1992 with financial support from Osama bin Laden.

Rohingya militants collect funds with the help of local and international Islamic parties, and Bangladesh’s right wing party, Jamaat-i-Islam, which has been known to finance the Rohingya Solidarity Organization. Many trainers of the Rohingya are members of the Islami Chhatra Shibir, the student wing of the Jamaat (Lintner, 2009).

For all these reasons, Myanmar Nobel laureate and democracy tycoon Aung San Suu Kyi is cautious, and refrains from supporting the Rohingya because it is not clear who should be blamed.

She has demanded that the rule of law be upheld. She wants unity among ethnic groups and warns that partiality will harm the reconciliation plan. Myanmar Prime Minister Thein Sein has so far had the right response, asking all parties to calm down.

In a press statement, the Myanmar government claimed to have avoided the use of violence in resolving this issue. It also expressed its dislike of efforts to internationalize the Rohingya conflict, and denied it was a religious issue.

Indonesia could offer assistance to Myanmar with bringing peace back, given its success in ending conflicts in Aceh, Maluku and Poso. Why don’t we share our experience in conflict resolution with our fellow man in Myanmar?
Do'a & do the best, keep on fighting for the better Indonesia..

Sabtu, 30 Juni 2012

Saat Bahagia :-)


Dalam sepi di kota yogyakarta, aku mengingatmu, then i uploaded this video.. Semoga bisa sedikit membangkitkan rasa lelahku seharian setelah kemarin jadi MC dadakan acara Kampus dan angkat-angkat lemari gambar kodok :-)

Selasa, 26 Juni 2012

THINKING OF PANCASILA & ATHEISM..

THINKING OF PANCASILA & ATHEISM..
             Should Alexander Aan live in exile, could he express atheism without facing hatred and threats of beheading? One might wonder why he prefers to live in Indonesia (a predominantly Muslim country) which was reported by the US leading magazine Newsweek as representing “smiling Islam” more than two decades ago. Unfortunately, Aan is currently facing “angry Islam”. We might argue that the majority of Indonesian Muslims remain moderate. However, as Endy Bayuni argued, radical Islamic groups have raised Indonesia’s current political temperature (“Is there room for atheists in Indonesia?”, The Jakarta Post, June 18).
             The implication is far reaching, particularly in Aan’s case. Having declared himself a “Minang atheist” and stated “God does not exist” on his Facebook account, Aan triggered revulsion and threats from hard-line groups. An angry mob also attacked Aan, but the police immediately arrested him. Recently, the Sijunjung District Court sentenced him to prison for two-and-a-half years. Still, local Muslim leaders and clerics in West Sumatra accused Aan of committing apostasy and compelled him to repent. Meanwhile, the FUI (Islamic Society Forum) said he deserved the death penalty, despite his public repentance. Other hard-liners opined that all atheists should be beheaded. Aan proclaimed himself an atheist out of the disappointment he felt with the role of religion in dealing with the complications of the worldly life.
              He wrote: “If God exists, why do so many bad things happen to this worldly life?” Thus, he was not only questioning God’s existence, but also offering a discourse. As a Muslim, he expressed his faith through praying and fasting. But he stopped these rituals after considering religion useless and unable to resolve problems. I would suggest this is a matter of limited understanding of religious underpinnings, which led to a rather extreme conversion to atheism. The case of Aan, who lives in Pulau Punjung, West Sumatra, reminds me of “the new atheist” ideas propagated among Western communities by Richard Dawkins, Sam Harris and Christopher Hitchens. These radical-secularist proponents denounce religion as not only retrograde but as an evil that has created horrible problems for human beings.
               They also claim that “God is Not Great” and “God is dead”. At the beginning, some young and educated people may be interested in their ideas. However, Karen Amstrong, a noted theologian and the author of A History of God sharply criticized the fallacy and supercilious tendencies of new atheist ideas. To Amstrong, God always exists and human being will always find a way to live with Him in a balanced, compassionate manner (Foreign Policy magazine, November/December 2009). It is also crucial for the Muslim communities to rethink their views on apostasy. Noted Muslim intellectuals such as Syafi’i Maarif (Indonesia), Abdullah Saeed (Australia), Hasan al Turabi (Sudan), Rashid al Ghannussi (Tunisia), and others have discussed apostasy critically based on Islamic perspectives and the Universal Declaration of Human Rights. Maarif, for instance, rejects strict, legalistic and exclusive perspectives on apostasy. He argues that the spirit of Islamic teachings is democratic as stated in the Koran, “there is no compulsion in religion” (Q.S. Al Baqarah: 256). Thus, he insists that atheists have the right to exist.
                        Furthermore, Muslim communities need to discuss atheism rationally and critically. Local Muslim leaders in West Sumatra argue that based on the first principle of Pancasila, “Belief in One Supreme God”, there is no room for atheism. For instance, the vice rector of Imam Bonjol State Islamic University–Padang, Asrasriwarni, says: “If Aan declares himself an atheist, he must be severely punished or expelled from Indonesia. Pancasila does not tolerate atheism.” (padangnews.com, Jan. 20).
                       Pancasila is basically a “gentlemen’s agreement” among Indonesia’s founding fathers, particularly “secular nationalist” and “Muslim nationalist” groups. It is a common platform for Indonesian societies; regardless of their religions, ethnicities and ideological backgrounds. Accordingly, the late Nurcholish Madjid argued that Pancasila should be percieved as an open ideology. The strength of Pancasila lies in its ability to unite all religions that have existed in Indonesia’s pluralistic society. The weakness of Pancasila is related to monotheism based on certain religious underpinnings. Consequently, Pancasila is often misinterpreted as a closed ideology and one that is opposed to atheism. History shows the New Order regime developed a mystification of Pancasila, declaring it is a sacred ideology. This regime issued People Consultative Assembly (MPR) Decision No. XXIX/MPR/1966 that banned Marxism/Leninism. Consequently, there is no room for atheism.
                     However, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid revoked the decree during his presidency. As the guardian of pluralism, he was commited to upholding a rational discourse on atheism. It is unproductive to pursue horrible and repressive approaches toward atheists and atheism. We should instead pursue persuasive dialogue with Aan. If he is still committed to atheism, no one can force him to change his beliefs. It would be his own responsibility to be an atheist in the world and the hereafter. So, let’s be rational, objective and persuasive in resolving Aan’s case. Nobody is perfect, let alone a young and ordinary “former” Muslim like him. Do'a n do the best, keep on fighting for the better Indonesia..
Do'a n do the best ,, keep on fighting for the better Indonesia