Rabu, 10 Agustus 2011

DILEMA SEORANG NAZARUDIN DI ANTARA TERSANGKA DAN JUSTICE COLLABORATOR


DILEMA SEORANG NAZARUDIN
DI ANTARA TERSANGKA DAN JUSTICE COLLABORATOR
Oleh: Kukuh Tejomurti, S.H.
            Semakin maraknya orang-orang yang dianggap sebagai whistle blower dan atau justice kolaborator atau orang-orang yang telah me-whistleblower-kan dirinya terhadap suatu perkara pidana, dari sisi keadilan terkadang membuat kita bertanya-tanya, dimanakah perlindungan dan reward (penghargaan) yang seharusnya diberikan kepada mereka? Memang benar istilah whistle blower belum dirumuskan secara nyata dan jelas dalam UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun secara tersirat whistle blower bisa dikatakan sebagai seorang saksi dimana ia layak diberikan jaminan perlindungan bahkan reward oleh negara. Orang-orang yang bisa terlibat langsung dengan kejahatan telah secara sadar dari hati nuraninya dan sukarela bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar aksi kejahatannya tersebut seharusnya diberikan penghargaan karena jasanya untuk menyelamatkan bangsa da negaranya.
            Akan tetapi di negeri ini jaminan perlindungan maupun reward (penghargaan) yang layak diterima tampaknya hanya angan-angan belaka. Hal ini bisa dilihat dari kasus “Susno Duadji” yang telah membongkar adanya makelar kasus di instansinya sendiri malah justru ia yang dijebloskan ke penjara. Sungguh aneh memang apabila di negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan orang-orang seperti ini malah dicampakan dan dikebiri. Apakah memang negara segaja mengabaikan “pahlawan” seperti ini  ataukah memang UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang masih harus direvisi lagi?
“Petasan-petasan kecil” Nazarudin
            Dengan terungkapnya kasus dugaan korupsi Wisma Atlet di Jakabaring Palembang yang setelah diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ternyata melibatkan seorang politisi sekaligus bendahara DPP Partai Demokrat yakni Muhammad Nazarudin. Namun sehari sebelum diterbitkan surat pencekalan oleh KPK terhadap Nazarudin, dia malah sudah lebih dahulu “kabur” ke Singapura dengan alasan berobat. Tampaknya partai pemenang pemilu 2004-2009 tersebut yang selalu mendengung-dengungkan “melawan korupsi” malah seolah-olah membiarkan kadernya yang terlibat kasus korupsi untuk “menyelamatkan diri”.
            Setelah “kabur” ke Singapura, si Nazarudin tampaknya mulai berpikir agar tidak hanya dirinya yang dihukum dan dipersalahkan melainkan banyak kader Partai Demokrat yang juga harus kena hukuman. Oleh karena itu ia dengan jurus politik “bumi hangus” mulai memberikan “petasan-petasan kecil” ke media-media melalui pesan BBM-nya untuk menyerang teman-temannya di DPR yang terindikasi terlibat kasus koruspsi tersebut. Penulis menduga tampaknya seorang Nazarudin secara tersirat sedang akan memberikan isu bahwa ia akan menjadi seorang whistle blower atau Justice Kolaborator yang akan menyelamatkan negara Indonesia dengan membongkar kasusnya secara keseluruhan. 
Whistle Blower Atau “Pahlawan Kesiangan”?
            Sekarang yang menjadi permasalahan akhir-akhir ini apakah seorang Nazarudin bisa dikatakan sebagai Whistle Blower atau Jusstice Kolaborator dengan pernyataan-pernyataan yang ia lemparkan dari Singapura? Namun apabila dicermati secara komprehensif, sehari sebelum pencekalan oleh KPK si Nazarudin telah pergi ke Singapura karena berobat sakit jantung. Setelah di Singapura yang katanya sedang sakit jantung ia ditemui oleh “tim curhat” yaitu rekan-rekan separtainya di rumah makan dan tidak jelas apa tujuan dan hasil pertemuan itu.
            Menarik untuk diperhatikan yaitu setelah berita-berita miring di Indonesia yang mengarahkan Nazarudin menjadi tersangka, ia mulai melemparkan pernyataan-pernyataan kebrobokan rekan-rekannya di DPR bahkan seorang menteri disebutkan juga terlibat kasus korupsi Wisma Atlet tersebut. Barangkali si Nazarudin beranggapan politik “bumi hangus” adalah tepat untuk membuatnya sebagai whistle blower. Hal ini juga secara tersirat diungkapkan oleh pengacaranya, bahwa Nazarudin mempunyai informasi-informasi penting yang jika diungkap kebrobokannya maka akan membahayakan stabilitas keamanan negara.
            Apakah layak Nazarudin disebut sebagai whistle blower  dengan pernyataan-pernyataan yang ia lemparkan dari Singapura? Apabila kita cermati, menurut penulis ia masih belum cukup layak dijadikan sebagai whistle blower atau saksi yang bisa diberikan perlindungan dan penghargaan atas jasanya. Alasannya adalah tidak kooperatifnya Nazarudin yang mana setelah dipanggil oleh KPK sebanyak 3 (tiga) kali untuk dimintai keterangan malah ia tidak pernah datang ke KPK untuk memberikan keterangan. Seorang saksi yang layak diberikan perlindungan oleh negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban adalah seseorang yang secara sukarela guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan di sidang peradilan memberikan keterangan tentang suatu perkara.
            Berita yang paling mengejutkan adalah akhir-akhir ini ia dikabarkan telah tidak berada di Singapura dan entah dimana keberadaannya. Sungguh mengherankan seorang yang terkena “sakit jantung yang parah” dengan bebasnya bisa pergi kemana-mana. Seorang Nazarudin dapat dikatakan sebagai whistle blower apabila ia secara sadar, kooperatif, dan sukarela mau bekerjasama dengan aparat penegak hukum memberikan keterangan tentang suatu perkara demi kepentingan penyelidikan, penyidikan, dan pemeriksaan pengadilan.
Revisi UU No. 13 Tahun 2006
            Tampaknya untuk bisa semakin memberikan kepastian hukum kepada para saksi atau whistle blower atau justice kolaborator di depan hukum maka perlu adanya revisi kembali terhadap UU No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yakni dengan memberikan definisi tegas siapakah whistle blower dan siapakah justice kolaborator serta bagaimana jaminan perlindungan dan reward yang harus mereka terima agar tidak tumpang tindih dengan peraturan aparat penegak hukum lainnya.
            Oleh karena itu kita perlu mendukung langkah dari LPSK dalam hal merevisi UU tersebut sehingga orang-orang yang secara hukum terlibat secara langsung dengan tindak kejahatan agar berani dan mau secara sukarela untuk membongkar tindak kejahatan besar seperti kasus korupsi dan sebagainya serta tentunya dengan diberikan reward yang bisa berupa keringanan hukuman maupun bebas dari segala hukuman karena jasa-jasanya tersebut.

Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UGM dan Waketum KMMIH UGM (2011-2012)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar