Rabu, 10 Agustus 2011

BURUKNYA DIPLOMASI INDONESIA DI SOMALIA


BURUKNYA DIPLOMASI INDONESIA DI SOMALIA
Oleh: Kukuh Tejomurti,S.H.
            Sudah satu bulan lebih para WNI yang menjadi ABK MV Sinar Kudus terombang-ambing di Teluk Aden, Somalia. Hal ini juga diperparah dengan semakin memburuknya kondisi kesehatan para ABK, seperti: para ABK terserang sakit diare, pasokan makanan semakin menipis sehingga harus makan satu kali sehari, serta para ABK harus minum air bercampur lumpur.  Pemerintah terkesan sangat lamban dalam mengambil keputusan meskipun akhirnya Pemerintah Indonesia memilih opsi membayar uang tebusan  untuk menyelamatkan para warganegaranya di Teluk Aden, Somalia itu. Negara kita lebih memilih untuk menunjukkan bahwa negara kita “kaya uang” dalam aksi penyelamatan para ABK MV Sinar Kudus tersebut.
            Namun jika kita mau melihat beberapa tanggapan dari negara tetangga kita yang menawarkan bantuan-bantuan militer untuk menghadapi perompak Somalia seolah-olah mereka ingin mempermalukan eksistensi negara kita terhadap rakyatnya. Mungkin mereka sudah tertawa terbahak-bahak melihat keputusan yang telah diambil oleh pemerintah, Negara Indonesia yang dikenal sebagai negara maritim di mana  juga memiliki  Angkatan Laut yang gagah akan tetapi untuk menghadapi  “preman laut”  (Bajak Laut) saja sudah kewalahan. Hal ini tentunya harus menjadi pelajaran berharga bagi kita khususnya bagi pemerintah Indonesia.
            Peristiwa ini tentunya bukan hal yang kebetulan semata akan tetapi lebih disebabkan karena kurangnya “taring negara” di kancah internasional terutama dunia diplomasi Indonesia di dunia internasional. Adapun telah dipilihnya opsi untuk membayar uang tebusan sekitar USD 3 juta atau sekitar Rp 27 miliar kepada para perompak Somalia dalam rangka menyelamatkan para ABK MV Sinar Kudus tidak dapat dikatakan bahwa diplomasi kita telah berhasil khususnya dalam hal melindungi warga negaranya di wilayah negara lain.
            Semakin buruknya dunia diplomasi Indonesia memang bukan pertama kalinya ini terjadi. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia, kasus terlantarnya warga negara kita yang menjadi TKI di luar negeri, dan sebagainya  telah mewarnai buruknya eksistensi kewajiban negara dalam hal melindungi warga negaranya di negara lain. Hal ini tentunya harus menjadi pelajaran bagi pemerintah kita dalam hal memanajemen bidang diplomasi. Namun beberapa bulan lalu tampaknya sudah ada berita membanggakan bagi kita khususnya dalam dunia diplomasi Indonesia yaitu ketika Kementerian Luar Negeri kita telah berhasil menyelamatkan para warga negara Indonesia dari ancaman krisis Timur Tengah khususnya di Libya. Para warga negara kita di Libya akhirnya berhasil dievakuasi dan dipulangkan ke tanah air dengan selamat.
            Akan tetapi “taring negara” dalam hal diplomasi di kancah internasional kembali memburuk ketika para warga negara Indonesia yang menjadi ABK MV Sinar Kudus terlonta-lonta satu bulan lebih di bawah tekanan perompak Somalia. Baik dari PT. Samudera Indonesia dan Pemerintah seakan-akan tidak saling berkoordinasi dengan baik. Hal ini terlihat dari tanggapan para keluarga dari ABK MV Sinar Kudus yang beranggapan seolah-olah antara Pemerintah dan PT. Samudera Indonesia hanya “saling melempar” tanggung jawab.
            Kejadian yang semakin berlarut-larut ini tentu bukan hal yag kebetulan. Pihak pemerintah seharusnya sadar bahwa diplomasi kita di Somalia sangatlah buruk. Apabila kita mencermati dari diplomatic mission theory yang menjelaskan bahwa suatu negara yang mengakui (recognize) suatu negara lain sebagai subyek hukum maka muncullah hubungan internasional (international relation) antar negara tersebut. Dari adanya hubungan internasional tersebut maka seyogyanya akan muncul hubungan diplomatik yg diwakili oleh wakil-wakil/diplomat/duta besar dari masing-masing negara yang ditempatkan di negara yg diakuinya itu. Dengan adanya penempatan wakil negara/diplomat/duta besar di suatu negara maka ada perluasan ekstrateritority dari suatu negara di negara lain di mana perluasan ekstrateritori itu bertugas untuk mengkover/melindungi warga negara dari negara yang diwakilinya
            Dalam kasus perompak Somalia ini seakan terlihat diplomasi kita dalam hal melindungi warga negaranya adalah sangat buruk. Republik Indonesia (RI) dan Republik Demokrasi Somalia sudah cukup lama mengadakan hubungan bilateral di mana juga diikuti dengan penempatan para wakil negaranya. Somalia sudah menempatkan wakilnya di Indonesia yaitu Mohamud Olow Barow (Duta Besar Somalia di Indonesia), dan RI juga menempatkan wakilnya untuk Republik Demokrasi Somalia yaitu Ramli Sa’ud.
            Akan tetapi jika kita mencermati dengan “asas resiprositas” dalam Hukum Diplomatik idealnya adalah harus benar-benar ada rasa saling keterwakilan dari masing-masing negara. Somalia telah menempatkan Duta Besarnya untuk Indonesia, namun Pemerintah RI menempatkan wakilnya untuk Somalia tidak sebagai Duta Besar penuh di Somalia akan tetapi merupakan rangkap jabatan daripada Duta Besar Indonesia di Ethiopia. RI menempatkan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh) LBBP RI untuk Ethiopia, merangkap Republik Demorasi Somalia dan Republik Djibouti.
            Dari hal tersebut di atas, kita seharusnya dapat melihat bahwa ada kurangnya rasa keterwakilan Indonesia di Somalia. Adapun perwakilan indonesia terhadap somalia akan tetapi perwakilan tersebut berada di Ethiopia sehingga tidak heran kasus “perompak somalia” akan semakin berlarut-larut terutama dalam hal diplomasi. Idealnya dengan adanya perwakilan indonesia untuk somalia seharusnya terdapat ekstrateritori (kekuasaan yurisdiksi dan eksekutif) Indonesia di Somalia yang diharapkan dapat lebih mempercepat dan mempermudah diselesaikannya kasus perompak Somalia tersebut. Namun yang terjadi adalah perwakilan Indonesia untuk Somalia merupakan rangkap jabatan dari Duta Besar Penuh dari Duta Besar Indonesia untuk Ethiopia. Oleh karena itu tidak heran jika kasus dibajaknya Kapal MV Sinar Kudus tersebut semakin berlarut.
            Permasalahan di atas seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita semua khususnya pemerintah Indonesia dalam hal memperbaiki eksistensi negara di kancah internasional. Seorang Duta Besar saja tidak cukup untuk mengkover kepentingan negara yang diwakilinya di berbagai negara seperti Duta Besar kita di Ethiopia yang harus merangkap jabatan di dua negara (Somalia dan Djibouti)  sekaligus sehingga muncul kurangnya rasa keterwakilan negara. Semoga kasus-kasus yang “memalukan” negara kita di kancah internasional semakin berkurang dengan adanya peristiwa dibajaknya Kapal MV Sinar Kudus oleh perompak somalia.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar