Rabu, 10 Agustus 2011

BUNUH DIRI POLITIK PARA PENGUASA & WAKIL RAKYAT


BUNUH DIRI POLITIK PARA PENGUASA & WAKIL RAKYAT
Oleh: Kukuh Tejomurti,S.H.
            Sebuah pertanyaan besar tampaknya layak ditujukan kepada penguasa yakni ‘Sampai kapan beragam seruan dan peringatan negara gagal dari tokoh peduli dan rakyat bangsa ini ditanggapi secara defensif oleh para pemangku kekuasaan di republik tercinta ini dan akankah para pemangku kekuasaan menganggap angin lalu berbagai kritikan membangun dari rakyatnya hingga negara bangkrut benar-benar terjadi menjadi kenyataan? Negeri ini nampaknya sedang menuju negara gagal ketika para pemimpinnya terdiri dari orang-orang yang berotak bebal yang sukanya hanya membual dan pemerintahnya malah sibuk nge-gombal
            Tidak adanya satu kata dengan perbuatan yang dilakukan oleh pemimpin kita yakni  Presiden yang dulu dalam kampanye politiknya ingin memimpin jihad melawan dan memberantas korupsi akan tetapi sekarang tampaknya berdiri paling belakang untuk memberantas korupsi. Oleh karena itu kita melihat para tokoh dan rakyat “kehilangan kosakata” dan hanya menemukan “kebohongan publik” yang dilakukan penguasa. Hal ini ditambah oleh kerusakan moral para pemangku jabatan negeri ini seperti: 158 kepala daerah tersangkut kasus korupsi sepanjang tahun 2004-2011, 42 anggota DPR tersangkut korupsi sepanjang tahun 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1998-2004 terseret kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, dan kasus korupsi terjadi  di berbagai lembaga seperti KPU, Ditjen Pajak, BI, dan lembaga peradilan.
Kerusakan Moral Makin Merajalela
            Parahnya masalah korupsi di bangsa ini dilengkapi dengan adanya kelemahan dalam penegakan hukum, kedua adanya sebagian masyarakat yang memusuhi kejujuran yang dipraktikan sejak bangku sekolah dasar seperti kasus Siami dan plagiarisme karya tulis akademisi,  ketiga daya beli masyarakat yang semakin merosot sehingga bahan pangan dan sumber energi semakin tidak terjangkau dibeli oleh masyarakat, serta ketidakmampuan kepemimpinan nasional sehingga nyaris tidak ada masalah bangsa yang selesai sebaliknya masalah semakin menumpuk dan menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terdapat survey dari lembaga “the fund for peace” dan majalah “Foreign Policy tentang indeks negara gagal tahun 2010 menempatkan Indonesia dalam peringatan atau dekat negara gagal. Indonesia berada di urutan ke-61 dari 177 negara yang disurvey mendekati negara-negara yang masuk dalam kategori negara gagal seperti Somalia dan Zimbabwe.
            Semakin mengguritanya kasus korupsi yang tidak hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif tetapi juga dilakukan lembaga legislatif semakin mewarnai kerusakan moral bangsa. Banyaknya kasus korupsi terutama korupsi anggaran mengindikasikan adanya “penjarahan uang rakyat” di negeri ini. Hal ini diperparah dengan kasus Bank Century yang nyaris “dipeti es-kan”, kasus mafia pajak, mafia peradilan yang masih diselesaikan secara setengah hati. Penulis sadar masalah ini tentu tidak hanya dapat diselesaikan oleh KPK dan penegak hukum lainnya akan tetapi presiden sebagai seorang “panglima tertinggi” di negeri ini harus bisa satu kata dengan perbuatan untuk memberantas korupsi yang faktanya adalah masih bertolak belakang.
            Dibentuknya KPK yang merupakan lembaga ad hoc untuk memberantas korupsi sekaligus memperkuat kinerja lembaga kepolisian, kejaksaan namun faktanya ia malah diganjal oleh oknum-oknum kedua lembaga tersebut. Fakta ini mengindikasikan adanya suatu ketiadaan satu tujuan para penegak hukum untuk melindungi rakyatnya untuk bisa bebas dari korupsi. Hal ini tentu saja semakin melanggengkan para koruptor dengan leluasa menaruh jarahannya di atas bantal dengan sejimpit uang di kedua kakinya yang sibuk menyumpal.
Hilangnya Jatidiri Negara
            Sejak reformasi 1998, Indonesia memang telah menggunakan sistem politik dan ekonomi liberal. UUD 1945 dirombak, DPR kemudian memproduksi begitu banyak undang-undang politik atau ekonomi yang pada prinsipnya adalah liberal. Sebagai contoh, DPR menyetujui undang-undang yang menyebabkan seluruh pelabuhan laut di Indonesia bebas dikelola perusahaan asing. Padahal negeri paling liberal Amerika Serikat saja melarang pelabuhannya dikelola Dubai Port, sebuah BUMN dari Timur Tengah.
            Menarik untuk diperhatikan adalah kebiasaan “gali lubang tutup lubang” yang dipraktikan oleh pemangku jabatan bidang ekonomi negeri ini yang tidak diperbaiki oleh penguasa sekarang ini. Utang-utang yang diwariskan sejak bulan November 1967 ketika Indonesia mengirimkan delegasinya yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, serta para ekonom lainnya ke suatu klub negara-negara terkaya dunia yakni International Governmental Group for Indonesia yang tujuannya hanya satu memberikan dan membesarkan utang-utang Indonesia.
            Di zaman pemerintahan Presiden SBY masalah tersebut diperparah dengan penerbitan obligasi surat utang pemerintah dengan menaikkan bunga menjadi 10,5 % oleh Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mana di Amerika surat utang tersebut dijuluki “junk bond” (surat utang sampah) yang ramai dicari oleh orang-orang. Selain itu, adanya kebijakan BLBI yang dirancang oleh Budiono (sekarang menjabat Wapres RI) yang imbasnya adalah sangat merugikan keuangan negara. Ini semua adalah indikasi kebangkrutan ekonomi Indonesia yang tak kunjung diperbaiki oleh SBY.
            Adanya kebijakan otonomi daerah yang melahirkan “raja-raja kecil” di daerah semakin memperbesar adanya desentralisasi paket-paket korupsi di daerah. Barangkali kita semua tahu para pemimpin daerah yang menjabat adalah berasal dari partai politik. Para calon kepala daerah harus bersusah payah menggelontorkan dana besar untuk mendapatkan perahu parpol yang akhirnya setelah ia menjabat harus bersusah payah juga untuk mengembalikan dana-dana politiknya. Masalah ini juga diperparah di wilayah pemerintahan pusat dengan adanya pembagian jatah-jatah jabaran di kementerian yang berasal dari parpol dan tidak berkarier dalam rangka untuk semakin memperkuat koalisi partai penguasa. Menurut penulis seharusnya para pemimpin kementerian dipegang oleh orang-orang profesional dan karier untuk menjamin adanya keprofesionalan kerja dan hasil kerja yang baik.
            Penutup
            Menarik untuk diperhatikan bahwa secara prinsipil dalam sebuah negara ada tiga pembagian kekuasaan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Setiap lembaga mempunyai fungsi yang berbeda dengan lembaga lainnya. Idealnya adalah lembaga legislatif sebagai pengawas pemerintah seharusnya mengoreksi pemerintah apabila pemerintah terindikasi telah melakukan kekeliruan. Akan tetapi faktanya lembaga legislatif yang mayoritas dipegang oleh partai penguasa serta koalisinya cenderung membela pemerintah apabila pemerintah terindikasi melakukan kekeliruan. Oleh karena itu tidak heran negara kita semakin berlarut-larut sulit untuk menjadi negara maju yang dapat memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Tampaknya negeri ini semakin menuju negara gagal karena konsepnya yang abal-abal yang hanya berisi orang-orang yang membual.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UGM dan Waketum Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM Periode 2011-2012


           















 















           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar