Senin, 31 Oktober 2011

Mempertanyakan Asas Kebebasan Berkontrak: Masih Relevankah?

Mempertanyakan Asas Kebebasan Berkontrak: Masih Relevankah?
Oleh : Kukuh Tejomurti, SH. Beberapa kalangan di tanah air, tentunya tidak semua, mulai larut
dengan adanya sistem pembuatan kontrak (perjanjian) yang semakin hari semakin banyak variasi, misalnya: kontrak jual beli, kontrak sewa beli, kontrak kerja, dan sebagainya. Pada prinsipnya pembuatan kontrak di Indonesia masih menganut prinsip-prinsip hukum yang dibawa oleh penjajah Belanda, yakni Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K U H Perdata / Burgelijk Wetboek). Suatu kontrak (perjanjian) dalam proses pembuatannya mau tidak mau masih harus menghormati beberapa asas dalam K U H Perdata, salah satunya adalah asas kebebasan berkontrak, yakni asas klasik dari "zaman nenek moyang" yang masih diagung-agungkan.
Apa yang dipaparkan di atas, penulis ingin mengkritisi relevansi asas kebebasan berkontrak (pasal 1338 ayat (1) K U H Perdata) dalam koridor masyarakat Indonesia kekinian. Perlu diakui bahwa masyarakat Indonesia yang hidup dalam suatu negara yang sedang berkembang tentunya tidak dapat dipungkiri khususnya bagi masyarakat golongan ekonomi menengah dan ke bawah sedang dirundung masalah dengan semakin susahnya memperoleh pekerjaan dan dimanjakan dengan mudahnya memperoleh barang secara kredit.

Dari uraian di atas, penulis ingin mempersempit kritikan penulis terhadap asas kebebasan berkontrak apakah masih relevan dengan konteks masyarakat Indonesia kekinian? Apakah menguntungkan bagi para pihak yang membuat kontrak ataukah justru merugikan salah satu pihak?

Asas Kebebasan Berkontrak

Dalam khasanah Hukum Perdata, Asas Kebebasan Berkontrak (pasal 1338 ayat (1) K U H Perdata) adalah "setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Artinya, masyarakat bebas membuat kontrak apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya. Namun, kebebasan tersebut tidak mutlak. Batasan yang jelas yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi para pembuatnya, sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak. K U H Perdata memberikan kebebasan berkontrak kepada pihak-pihak membuat kontrak secara tertulis maupun secara lisan, asalkan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 1320 K U H Perdata).

Apa yang telah penulis paparkan di atas, secara teori memang sudah dapat dikatakan benar baik oleh akademisi maupun praktisi. Akan tetapi apabila kita hubungkan dengan kajian filosofi maupun sosiologi hukum asas kebebasan berkontrak masih bisa kita perdebatkan.

Masih Relevankah Asas Kebebasan Berkontrak?

Tidak adil rasanya apabila asas kebebasan berkontrak tersebut kita agung-agungkan keberadaannya tanpa melihat sejauhmana baik secara filosofi maupun sosiologi hukum apakah keberadaan asas tersebut masih bermanfaat dengan konteks masyarakat Indonesia kekinian.

Seperti halnya sebuah koin mata uang, setiap sisinya mempunyai perbedaan karakteristik, begitu pula dengan masalah ini. Dengan melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya golongan ekonomi menengah dan ke bawah yang saat ini sedang dirundung masalah karena semakin sempitnya memperoleh pekerjaan, ditambah lagi dengan sistem kerja kontrak yang sedang marak digunakan oleh pihak pengusaha (perusahaan), tampaknya eksistensi asas kebebasan berkontrak perlu dikritisi, bisa jadi di satu sisi menguntungkan, sedangkan di sisi lain merugikan.

Menurut penulis, asas ini akan cocok atau relevan digunakan atau dibuat oleh para pihak yang tingkat kesejahteraan ekonominya sama (posisi tawar seimbang). Artinya apabila suatu kontrak dibuat oleh para pihak yang sama-sama "kaya" maka dapat saling menguntungkan dan bermanfaat bagi para pihak. Namun, apa yang terjadi apabila para pihak yang membuat kontrak tidak mempunyai posisi tawar yang seimbang dalam hal kesejahteraan ekonomi (pihak yang satu kaya, pihak lainnya adalah miskin) maka yang terjadi adalah kerugian yang didapat oleh "si miskin", sedangkan keuntungan didapat oleh "si kaya". Oleh karena itu, hasil dari terciptanya kontrak tersebut adalah ketidakadilan.

Penulis mengibaratkan dengan contoh di masyarakat Indonesia kekinian, misalnya: suatu kontrak kerja (antara majikan / pengusaha dengan buruh). Dengan kondisi perekonomian si buruh yang terbelenggu oleh pengangguran dan kemiskinan melakukan pembuatan kontrak kerja dengan si majikan / pengusaha yang kaya raya. Biasanya yang terjadi sekarang ini adalah sistem Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), yakni hubungan kerja diadakan dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu yang bersifat sementara. Di samping itu juga ditambah dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh majikan / pengusaha yang tentunya menguntungkan majikan / pengusaha, maka para buruh yang sangat butuh pekerjaan mau tidak mau harus menyepakati kontrak tersebut, meskipun di sana-sini syarat-syarat tersebut sangat merugikan si buruh. Oleh karena dari uraian contoh tersebut, maka yang terjadi adalah ketidakadilan.

Penutup

Rasa miris bercampur sedih tampaknya rasa itulah yang dapat menggambarkan benak hati penulis melihat wajah hukum kita yang masih mengagung-agungkan asas klasik "zaman nenek moyang" yang masih saja digunakan saat ini. Asas kebebasan berkontrak dapat memberikan manfaat apabila posisi tawar para pihak adalah sama (seimbang), namun apabila tidak maka yang terjadi adalah ketidakadilan dalam masyarakat.

Sebagai akademisi hukum, penulis kiranya ingin memberikan saran kepada para akademisi (peneliti), praktisi, dan pembuat kebijakan hukum untuk membuat perbaikan radikal terhadap hukum di Indonesia agar keadilan dapat semakin terwujud di negeri ini. Kiranya opini penulis dapat dijadikan sebuah wacana kritis bukan sebagai wacana sinis karena daya kritis akan melahirkan optimisme, sedangkan daya sinis akan menghadirkan pesimisme.***

Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum USU, saat ini sebagai Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Ilmu Hukum (MIH) UGM, sekaligus Waketum Keluarga Mahasiswa MIH UGM (2011-2012)

Sabtu, 29 Oktober 2011

Raisa - Serba Salah.mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - Raisa - Serba Salah.mp3

Raisa - Serba Salah.mp3 - 4shared.com - penyimpanan dan berbagi-pakai file online - unduh - <a href="http://www.4shared.com/audio/8ABeahHP/Raisa_-_Serba_Salah.html" target="_blank">Raisa - Serba Salah.mp3</a>

Senin, 24 Oktober 2011

KEKELIRUAN PARADIGMA SEPARATISME DI PAPUA

KEKELIRUAN PARADIGMA SEPARATISME DI PAPUA
Oleh: Kukuh Tejomurti, S.H.
            Indonesia diibaratkan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya yang kini telah berjumlah 33 provinsi dengan berbagai suku, ras, budaya, dan agama. Oleh karena itu sebagai seorang ibu yang bijak maka apabila ada seorang anak yang mengeluh (bermasalah) sudah selayaknya diselesaikan dengan cara dialog sepenuh hati antara seorang ibu dengan anaknya.
            Begitu juga dengan Papua (Irian Jaya) sebagai salah satu bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tengah bergejolak selama ini, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menyelesaikannya dengan cara-cara dialogis sepenuh hati bersama masyarakat Papua untuk mencapai satu komitmen (cita-cita) yang satu. Peristiwa kerusuhan yang semakin “panas” di daerah Tembagapura, Timika, Papua adalah salah satu ancaman bagi keutuhan NKRI apabila pemerintah Indonesia terus menerus menyelesaikan kerusuhan tersebut dengan menjadikan masyarakat Papua yang memberontak sebagai musuh.
            Kata-kata “ketidakadilan” dan “perlakuan diskriminatif” terhadap sebagian masyarakat Papua tampaknya menjadi kata semboyan pemersatu mereka untuk melawan pemerintah Indonesia yang dinilai tak adil terhadap mereka. Semakin berlarutnya penyelesaian masalah aksi kekerasan yang terjadi di Papua selain meresahkan kehidupan warga, hal tersebut tentunya menjadi promosi negatif bagi iklim usaha sekaligus menghambat pelaksanaan diplomasi Indonesia.
Kekeliruan Paradigma Separatisme
            Ibarat seorang anak tentunya tak ingin diperlakukan seperti anak tiri yang dibeda-bedakan dengan anak lainnya. Masyarakat Papua juga tentunya tak ingin diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah Indonesia. Dari masalah “Legitimasi Pepera” yang masih diperdebatkan oleh negara-negara barat, masalah “perampokan” sumber daya alam masyarakat Papua oleh PT. Freeport, sampai masalah internal antara buruh PT. Freeport dengan majikannya tampaknya semakin membuat pikiran dan hati nurani penulis gelisah. Sampai kapankah akan jatuh korban tewas akibat ketidakharmonisan antara “Ibu dan anak” ini?
            Tidak jauh berbeda dengan Aceh, gerakan perlawanan Papua dilihat Pemerintah melalui kacamata separatisme. Stigma separatisme biasanya akan selalu diikuti dengan aksi kekerasan baik dengan melaksanakan operasi militer secara berkala formal maupun rahasia. Belajar dari kasus Aceh, dalam rangka memadamkan gerakan perlawanan di Aceh, maka dilaksanakanlah operasi militer rahasia dengan sandi operasi jaring merah. Wilayah yang terkena operasi tersebut dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM) berlangsung dari tahun 1989-1998. Kebijakan DOM tersebut ditingkatkan lagi menjadi Status Darurat Militer dan Darurat Sipil hingga terjadi bencana Tsunami pada 26 Desember 2004.
            Sejak diterapkannya kebijakan Pemerintah tersebut menyebabkan kerugian sosial yang besar, seperti: banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu, ibu-ibu menjanda, orang-orang cacat. Lebih dari itu, dengan dilabeli sebagai kaum separatisme, sebagian masyarakat Aceh saat itu menjadi semakin marah yang terakumulasi dan kemudian meledak. Melihat dari kasus Aceh, menurut Penulis, kebijakan represif militer sangat mungkin menyebabkan kegagalan, kerugian sosial serta kerugian finansial yang besar. Namun, dengan langkah dialogis komprehensif (MoU antara RI-GAM) yang dilandasi oleh niat tulus ikhlas maka dalam waktu yang tidak terlalu lama konflik itu bisa diselesaikan tabpa harus menimbulkan korban jiwa dan mengeluarkan banyak biaya.
            Apa yang dipaparkan di atas jika dikaitkan dengan masalah Papua saat ini tentu  boleh jadi bisa menjadi “solusi sehat” antara Pemerintah dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Oleh karena jika terus menerus Pemerintah melabelkan separatisme dan melakukan dehumanisasi maka masalah di Papua tak kunjung selesai.
Diplomasi Untuk Papua
            Helen Barness menjelaskan bahwa dialog bersifat terbuka, inklusif, mendorong peserta dialog utuk berbicara dan saling mendengarkan dalam rangka membangun rasa percaya dan memungkinkan tercapainya konsensus dan kesepakatan konkret. Nilai dialog terletak pada keseimbangan dan semua pihak menjadi pemenang.
            Belajar dari peristiwa Aceh, tampaknya pada masa Presiden Gus Dur (alm.), beliau menerapkan strategi “look to the east”. Kebijakan ini dilakukan untuk mempererat hubungan dengan negara-negara di kawasan Pasifik sekaligus mencegah agar negara-negara tersebut tidak memberikan dukungan politik kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain itu, Pemerintah juga mengirimkan delegasinya pada Konferensi Tingkat Tinggi Pasific Islands Forum (PIF) yang diselenggarakan di Tarawa, Kiribati pada akhir Oktober 2000. Hasilnya sangat positif, diperoleh dukungan bagi keutuhan NKRI termasuk Papua.

Penutup
            Penulis menaruh asa yang besar kepada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini. Belajar dari kerusuhan di Aceh, tampaknya Presiden SBY telah dapat dikatakan berhasil merujukan jurang perceraian di Aceh dengan disepakatinya MoU Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tentang Peta Damai.
            Dalam wawancara yang dikutip dari Newsweek awal maret 2006, Presiden SBY mengatakan bahwa kita harus mengubah paradigma keamanan internal dan menempuh metode baru untuk menyelesaikan konflik dalam negeri, termasuk permasalahan di Papua. Berangkat dengan semangat senasib sebangsa dan semangat perdamaian di Aceh, penyelesaian konflik di Papua harus dilakukan dengan pendekatan dialogis sepenuh hati agar tidak ada lagi kekerasan menimpa masyarakat Papua, tidak ada lagi anak-anak yatim piatu, tidak ada lagi ibu-ibu menjanda, tidak ada lagi orang-orang cacat tertembak senapan peluru, dan tidak ada lagi nyawa-nyawa manusia terbuang sia-sia. Damailah Papuaku !
Penulis adalah Alumni FH USU dan saat ini sebagai Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (MIH) UGM, serta Waketum Keluarga Mahasiswa MIH UGM.