Rabu, 10 Agustus 2011

Kepulangan Nazaruddin dan Bias Politik di Indonesia


Kepulangan Nazaruddin dan Bias Politik di Indonesia
Oleh: Kukuh Tejomurti, S.H.
            “Akhirnya, akhirnya kita temukan.  Wajah yang mengalihkan dunia politik dan hukum di Indonesia. Membuat diri kita sungguh-sungguh tak berhenti mengejar pesonanya  untuk membuktikan ucapannya. Dia dia dia orang yang kita tunggu tunggu tunggu”. Mungkin sebagian lirik lagu Afgan berjudul “Dia, dia, dia” ini penulis anggap pantas untuk menggambarkan sebuah kisruh politik dan hukum di Indonesia saat ini. Sosok “dia” yang menggambarkan seorang Nazaruddin yang kabur dari buruan (Komisi Pemberantasan Korupsi) KPK dan mengeluarkan “nyanyian politik” ke Indonesia yang mana pasti akan membuat gerah siapa saja yang terlibat kasus korupsi, terutama kasus korupsi Wisma Atlet Sea Games di Palembang serta korupsi anggaran untuk dana politik partai yang masih belum diungkap secara utuh.
            Berakhir sudah pelarian seorang Nazaruddin di mana yang bersangkutan telah kabur hampir selama 3 (tiga) bulan dan akhirnya ditangkap oleh Polisi Interpol di Cartagena, Kolombia. Namun yang menjadi pertanyaan besar sekarang adalah apakah kehadiran seorang Nazaruddin akan membuat jernih belenggu kasus korupsi Wisma Atlet serta belenggu kasus di Partai Demokrat dan KPK?
            Tak mengherankan sejak Nazaruddin kabur dan “bernyanyi”, ada dua lembaga yang teracuni kredibilitasnya oleh nyanyian Nazaruddin. Kedua lembaga itu adalah Partai Demokrat dan KPK. Partai Demokrat yang selalu menggunakan slogan “perang melawan korupsi” telah ternodai oleh nyanyiannya. Lembaga selanjutnya adalah KPK, lembaga yang selalu menjadi penyemangat kaum pemuda untuk memberantas korupsi juga telah ternodai kredibilitasnya oleh ulah nyanyian Nazaruddin. Pertanyaan dalam benak penulis selanjutnya apakah kehadiran Nazaruddin malah akan menimbulkan dusta-dusta baru di negeri ini. Dusta-dusta yang melahirkan kembali kedustaan di mana fenomena ini yang telah menghancurkan jatidiri berdirinya suatu bangsa dan negara.
Kepulangan Nazaruddin Dalam Kacamata Hukum Internasional
            Menurut kacamata hukum internasional ada dua cara untuk memulangkan Nazaruddin ke Indonesia, yakni pertama adalah cara Ekstradisi dan kedua adalah cara Deportasi. Pertama, Ekstradisi adalah tindakan proaktif dari suatu pemerintah / negara (dalam hal ini Indonesia) untuk mengajukan permintaan penyerahan seseorang karena tindakan kriminal yang telah dilakukannya (bisa berupa surat perintah) kepada suatu pemerintah di mana seorang yang diminta penyerahannya tersebut berada. Proses ekstradisi ini telah diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan ekstradisi ini bisa terjadi baik di antara kedua negara tersebut mempunyai perjanjian ekstradisi ataupun tidak serta negara yang telah menangkap tersebut tidak ada kepentingan (baik pidana, perdata, atau administrasi) terhadap seseorang tersebut.
            Kedua, Deportasi adalah tindakan proaktif dari suatu pemerintah / negara (dalam hal ini Kolombia) untuk mengusir, memulangkan seseorang ke negara asalnya atau keluar dari negaranya karena seseorang tersebut dianggap telah melakukan pelanggaran keimigrasian (di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011) di negara yang bersangkutan. Dalam hal deportasi ini bisa saja dilakukan karena Nazaruddin telah menggunakan nama palsu di paspornya.
Bias Politik Di Indonesia
            Terkait dengan upaya Ekstradisi maupun Deportasi, yang menjadi permasalahan dalam kepulangan Nazaruddin adalah upaya perlawanan hukum Nazaruddin di Kolombia. Bisa dimungkinkan bila Nazaruddin akan mencoba bertahan di Kolombia terkait dengan proses hukum yang akan dilaluinya di Kolombia. Tentunya Nazaruddin bisa berdalih bahwa proses pengajuan ekstradisi kepada dirinya berkaitan dengan muatan politik serta masih diskriminasinya proses penegakan hukum di Indonesia.
            Perlu diingat kasus  Julian Assange (pendiri wikileaks) yang telah diajukan upaya ekstradisi dari pemerintah Swedia untuk memulangkan Julian Assange ke Swedia, akan tetapi Julian Assange beserta pengacaranya menolak upaya ekstradisi tersebut dengan dalih ada muatan-muatan politik dari Swedia untuk memulangkan dirinya dan muatan politik ini biasanya bisa menjadi penghambat dalam proses ekstradisi. Hal ini dikarenakan prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuan hak azasi manusia untuk menganut keyakinan politik dan keyakinan politik seseorang.
            Ketidaknyamanan dan kegerahan politik maupun hukum di Indonesia karena adanya nyanyian-nyanyian Nazaruddin ini pun secara tersirat diakui oleh SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, oleh karena itu Beliau meminta agar Nazaruddin benar-benar dijaga ketat oleh aparat keamanan. Tentunya selain upaya kepulangan Nazaruddin tersebut juga harus dibarengi dengan proses penegakan hukum yang berjalan nantinya. Namun dengan pernyataan data dari suatu lembaga survei di Indonesia tampaknya merasa miris karena tingkat kepercayaan publik kepada KPK menurun drastis terkait masalah di pimpinan dan staf KPK.
Penutup
            Kepercayaan publik kepada entitas negara memang sedang benar-benar dipertaruhkan di negara Indonesia. Menarik untuk diperhatikan juga bahwa Nazaruddin adalah mantan bendahara Partai Demokrat dan dia tentunya mengetahui lalu lintas keuangan dana partai politik di partainya baik yang “halal” maupun yang “haram”, serta jika kita dengar nyanyiannya maka betapa mengetahuinya dia terhadap anggaran APBN dan proses mengalirnya kemana saja.
            Oleh karena itu penulis dan masyarakat tentunya sangat berharap kehadiran Nazaruddin ini akan memberikan sebuah pencerahan dalam proses penegakan hukum di Indonesia yang carut marut. Penulis juga mengharapkan supaya proses peradilan Nazaruddin benar-benar obyektif dan tanpa adanya intervensi politik manapun berkaitan dirinya adalah mantan bendahara partai serta jangan sampai rakyat semakin marah karena adanya  kebusukan-kebusukan proses penegakan hukum di negeri ini.
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UGM dan Waketum KMMIH UGM (2011-2012).



1 komentar: