Senin, 19 September 2011

Kebuntuan Legalitas Formal Di Institusi Penegak Hukum

Kebuntuan Legalitas Formal Di Institusi Penegak Hukum
Oleh: Kukuh Tejomurti,S.H
            Kegelisahan penulis akan kejumudan, kekerdilan, dan kebuntuan dalam berhukum pada institusi penegak hukum khususnya pada institusi Kors Bhayangkara  semakin menjadi-jadi dengan adanya kasus Saiful Jamil sekarang ini. Seorang penyanyi sekaligus aktor film tersebut dijadikan tersangka dengan dugaan telah melakukan tindak pidana yaitu adanya kelalaian (kealpaan) yang menyebabkan kematian seseorang yaitu istrinya sendiri. Dari kacamata legal-formal, menurut penulis institusi kepolisian memang sudah benar dalam hal melakukan penyidikan terhadap Saiful Jamil dan menyimpulkan bahwa dia telah dapat dimasukan dalam unsur-unsur tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya, meskipun jika dilihat dari sisi sosiologis dan filsafat hukum tampaknya kesimpulan dari pihak kepolisian tersebut masih bisa kita perdebatkan.
            Perdebatan ini muncul karena menurut penulis tampaknya institusi Korps Bhayangkara tersebut kurang memperhatikan dan memahami bahwa hukum itu tidaklah selalu teks undang-undang, namun yang terpenting adalah keadilan dari  dibentuknya hukum tersebut. Hukum adalah untuk manusia dan bukanlah manusia yang ditarik-tarik ke dalam skema hukum positif apabila ada permasalahan dengan hukum tersebut. Menurut penulis biarlah dikatakan apabila kepolisian tersebut kurang profesional terhadap apa yang tertulis dalam undang-undang akan tetapi yang lebih penting adalah kepolisian di negeri ini bisa dikatakan adil dan arif dalam menyikapi fenomena-fenomena hukum yang ada di masyarakat sehingga slogan kepolisian sebagai pengayom masyarakat dapat menjadi terwujud.
Berhukum Dengan Moralitas
            Menurut Fritjof Capra, sekarang ini kita hidup dalam suatu masa ‘turning point’. Ketidakmampuan kita untuk kembali melihat kehidupan manusia dengan pandangan yang utuh, menurut Capra, menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual manusia.
            Orang tidak bisa memusatkan perhatian pada satu obyek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan  membiarkan obyek tersebut bersatu dengan lingkungannya. Oleh karena itu kita dalam berhukum pun tidak seharusnya memisahkan antara kepastian hukum undang-undang dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan yang ada di masyarakat.
            Masalah-masalah kebuntuan formal ini tampaknya tidak sekali terjadi di negeri ini akan tetapi sudah berkali-kali dan yang memprihatinkan hal ini tidak menjadi pelajaran atau hikmah bagi para penegak hukum kita. Fenomena peradilan terhadap “orang kecil” misalnya: a) kasus pencemaran nama baik dokter dan Rumah Sakit Omni Internasional oleh Pritha Mulyasari (ditahan sejak 3 Mei 2009 – 3 Juni 2009, Tangerang); 2) kasus pencurian satu buah semangka (Kediri), dengan mana Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan satu bulan; 3) kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000,- yang menyebabkan empat anggota keluarga Manisih, dua anaknya  dan sepupunya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rowobelang Batang; 4) kasus Pak Klijo Sumarto (76 tahun) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp2.000,- di Sleman, dan ia mendekam di LP Cebongan Sleman; kasus Mbok Minah, dengan mana Mbok Minah dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp2.100,-  pada 2 Agustus 2009 di Purwokerto, ia dihukum pidana percobaan satu bulan 15 hari; dan 6) kasus Lanjar yang kehilangan nyawa isterinya karena kecelakaan bersama, namun ia didakwa menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya dan harus mendekam di penjara di Karanganyar.
            Kasus-kasus di atas tampaknya telah membuktikan bahwa hukum hanya dipahami sebatas lapisan legal formalistik yang terpenjara dalam pasal-pasal dan terasing dari masyarakatnya  sehingga sering mengalami kebuntuan legalitas formalnya. Hal ini ibarat ‘menanti pelangi dalam malam yang gelap gulita’, yakni hukum tersebut tidak akan berguna bagi masyarakat melainkan akan menjadi sesuatu yang bisa “membunuh” pelan-pelan di dalam masyarakat.
            Marc. Galanter yang mengatakan bahwa ‘the haves always come out ahead’ bisa menggambarkan fenomena-fenomena peradilan sesat yang ada di negeri ini. Hukum seperti sebilah pisau dapur yakni tajam ke ke bawah namun tumpul ke atas yang berarti hukum terhadap ‘orang kecil’ semakin represif, sedangkan terhadap ‘orang besar’ hukum bersifat melindungi dan memihak. Fenomena peradilan terhadap ‘orang kecil’ dan ‘orang besar’ tersebut seolah menunjukkan bahwa penegakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan subsrantif.
Pancasila Sebagai Penuntun ‘Non Enforcement of Law’
            Tidak kita pungkiri bahwa Pancasila sebagai kesepakatan politik hukum nasional bangsa Indonesia harus kita terapkan dalam berhukum. Sebagai paradigma pembangunan hukum, Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat kaidah penuntun yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Keempat kaidah ini terdiri atas: a) hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa; b) hukum harus menjamin keadilan sosial dengan memberikan perlindungan khusus bagi golongan lemah agar tak tereksploitasi oleh golongan kuat; c) hukum harus dibangun secara demokratis; dan d) hukum tidak boleh diskriminatif.
            Berdasakan konsepsi tentang politik hukum nasional serta peran kaidah penuntun dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia maka dapat dikatakan bahwa penegak hukum dapat melakukan non enforcement of law (diskresi) baik secara sporadik maupun parsial apabila peraturan hukum dan penerapannya bertentangan dengan kaidah penuntun tersebut.
Penuntun
            Seperti apa yang seringkali diucapkan Prof. Satjipto Raharjo,S.H semasa hidupnya bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukanlah manusia untuk hukum tampaknya dapat dijadikan motivasi bagi kita yakni masyarakat Indonesia dan khususnya bagi aparat penegak hukum untuk menegakan hukum lebih adil dan arif sehingga peradilan sesat dan para aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim yang selama ini hanya sebagai ‘corong undang-undang’ serta tidak dapat memberikan keadilan di masyarakat dapat diminimalisir keberadaannya.
            Oleh karena itu, sekiranya penulis ingin memberikan sedikit saran yang tak berharga nilainya tapi barangkali bisa memberikan sedikit manfaat bagi  aparat penegak hukum kita yakni perlunya perbaikan pada peraturan kode etik para penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, dan hakim) untuk dapat menyesuaikan dan memahami kearifan lokal di masyarakat demi terwujudnya keadilan.

Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum USU, sekarang sebagai Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (MIH) di UGM, sekaligus Waketum Keluarga Mahasiswa MIH UGM
           

Rabu, 14 September 2011

PENGGUNAAN DALIL “KETERTIBAN UMUM” DALAM MEMUTUS SENGKETA PEMBATALAN ARBITRASE INTERNASIONAL (Studi Kasus Pertamina vs Karaha Bodas)

PENGGUNAAN DALIL “KETERTIBAN UMUM” DALAM MEMUTUS SENGKETA PEMBATALAN ARBITRASE INTERNASIONAL
(Studi Kasus Pertamina vs Karaha Bodas)
Oleh: Kukuh Tejomurti
ABSTRAKSI
          Penulisan makalah ini mempunyai tujuan untuk mengetahui apakah Pengadilan Nasional dari suatu negara peratifikasi Konvensi New York 1958 yakni dalam hal ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai kewenangan untuk membatalkan putusan arbitrase internasional dengan dalil ketertiban umum.
          Hasil pengkajian menjelaskan bahwa ditinjau dari Konvensi New York 1958, Undang-undang No. 30 Tahun 1999, serta Perma No. 1 Tahun 1990, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki wewenang untuk membatalkan putusan arbitrase internasional dengan dalil ketertiban umum sebagai dasar pembatalan putusan. Selain itu juga, ketentuan-ketentuan dalam Kovensi New York 1958, Undang-undang No. 30 Tahun 1999, serta Perma No. 1 Tahun 1990 bukan berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase melainkan hanya berkaitan dengan penolakan dan pelaksanaan putusan arbitrase.









BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
            Ketertiban umum adakalanya diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan dan keamanan, atau disamakan dengan ketertiban umum, atau sinonim dari istilah keadilan.[1] Adapun pendapat ahli lain mengenai ketertiban umum yaitu tata tertib kehidupan suatu masyarakat, yang meliputi kesadaran moral, hukum, dan agama. Ketertiban umum dapat pula diartikan sebagai nilai yang berkaitan dengan budaya, rasa kepatutan dan keadilan suatu bangsa.[2]
            Sistem-sistem hukum dari negara-negara mengenal pembedaan antara apa yang dinamakan dengan ketertiban umum internasional atau ekstern dan ketertiban umum nasional atau intern. Pembedaan ini bertujuan untuk menundukkan kontrak internasional, putusan pengadilan dan arbitrase asing hanya terhadap ketertiban umum yang berlaku  terhadap hubungan dengan unsur asing dan tidak akan berlaku terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ketertiban umum nasional.
            Apa yang dimaksud dengan ketertiban umum nasional adalah ketentuan-ketentuan yang hanya membatasi kebebasan perseorangan.[3] Sementara itu, ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhannya atau perlindungan masyarakat pada umumnya. Kaidah-kaidah ini membatasi kekuatan ekstra-teritorial dari kaidah-kaidah asing. Ketertiban umum internasional dapat dikatakan mempunyai kekuatan berlaku secara pengecualian dan jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketertiban umum nasional.[4]
            Istilah internasional pada ketertiban umum internasional di sini tidak dipergunakan untuk menjelaskan bahwa ketertiban umum ini bersifat internasional. Ketertiban umum sesungguhnya tidak lain sifatnya adalah nasional. Dengan demikian, ini berarti baik isi maupun sumber dari ketertiban umum itu tidak bersifat internasional melainkan berasal dari nasional. Hanya hubungan-hubungannya yang dianggap internasional, hanya suasananya yang internasional.[5]
            Sebelum kita membahas dasar-dasar pembatalan putusan arbitrase internasional, maka akan lebih bijaksana kita mengerti terlebih dahulu mengenai pengertian “Pembatalan Putusan Arbitrase” itu sendiri. Pembatalan merupakan suatu perbuatan hukum  yang bermaksud memutuskan, menghentikan, atau menghapuskan sesuatu hubungan hukum.[6] Jadi, pembatalan mensyaratkan adanya suatu hubungan hukum yang ingin dihapuskan oleh pihak yang berkepentingan. Adapun pembatalan putusan arbitrase dapat diartikan sebagai suatu upaya hukum yang diberikan kepada para pihak yang bersengketa untuk meminta kepada Pengadilan Negeri agar suatu putusan arbitrase dibatalkan, baik terhadap sebagian atau seluruh isi putusan.[7]
            Upaya pembatalan bukan merupakan upaya hukum biasa melainkan upaya hukum luar biasa. Upaya pembatalan merupakan upaya hukum yang memaksa yang dapat saja dikesampingkan oleh kedua belah pihak. Jadi, upaya pembatalan tidak sama dengan upaya hukum banding dalam sistem peradilan biasa. Putusan arbitrase menurut sifatnya dan kesepakatan para pihak dalam kontrak pada umumnya, tidak dimungkinkan upaya banding. Putusan arbitrase umumnya disepakati sebagai putusan yang final dan binding (mengikat). Oleh sebab itu, dalam proses pembatalan putusan arbitrase, pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara.
            Kewenangan pengadilan terbatas hanya pada kewenangan memeriksa keabsahan prosedur pengambilan putusan arbitrase, antara lain, proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa.
            Ketentuan UNCITRAL Model Law sendiri mengatur pembatalan putusan arbitrase pada pasal 34. Ketentuan UNCITRAL Model Law membagi dua alasan pembatalan, yaitu alasan yang bersifat “optional” yang dapat diajukan oleh para pihak, dan alasan yang langsung dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase. Alasan-alasan yang bersifat “optional” meliputi:
1.      Para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak memiliki kecakapan atau perjanjian tersebut tidak sah berdasarkan hukum mana para pihak sudah menundukkan diri, atau jika petunjuk mengenai hal itu tidak ada berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dijatuhkan;
2.      Pihak yang mengajukan permohonan tidak diberi pemberitahuan yang patut mengenai penunjukan arbiter atau mengenai proses arbitrase atau tidak dapat membela perkaranya;
3.      Putusan berkenaan dengan perselisihan yang tidak dimaksudkan oleh atau tidak termasuk dalam kesepakatan-kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase atau memuat keputusan atas hal-hal yang berada di luar lingkup kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase, dengan ketentuan bahwa apabila putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat dipisahkan dari putusan yang tidak diajukan, maka bagian dari putusan arbitrase yang mencantumkan putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat diakui dan dilaksanakan;
4.      Komposisi majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian para pihak atau, apabila perjanjian tersebut tidak ada, tidak sesuai dengan hukum negara di mana arbitrase itu dilangsungkan.[8]
            Sedangkan alasan-alasan yang dapat digunakan langsung oleh Pengadilan untuk membatalkan putusan meliputi: pokok perkara tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum negara ini atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum dari negara ini.[9] Namun, kedua alasan terakhir ini oleh Konvensi New York 1958 justru digunakan sebagai dasar yang memungkinkan pengadilan suatu negara untuk menolak pelaksanaan suatu putusan arbitrase dan bukan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.
            Putusan Arbitrase Jenewa, Swiss, tanggal 18 Desember 2000 pada dasarnya melibatkan tiga pihak yaitu perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (Pertamina) melawan Karaha Bodas Company (KBC) dan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Putusan Arbitrase Jenewa, Swiss, tanggal 18 Desember 2000 sendiri timbul dari sengketa yang bermula dari penangguhan pelaksanaan dua kontrak yang dibuat pada tanggal 28 November 1994. Kedua perjajian tersebut adalah:
1.      Perjanjian Kerjasama (Joint Operation Contract/JOC), yang menentukan bahwa Pertamnia bertanggung jawab untuk pengurusan operasi di bidang geothermal  dan bahwa KBC akan bertindak sebagai kontraktor di mana KBC diwajibkan untuk mengembangkan energi geothermal, membangun dan menjalankan fasilitas pembangkitan tenaga listrik.
2.      Kontrak Jual Beli Energi (Energy Sales Contract/ESC), antara Pertamina, PLN dan KBC, berdasarkan mana PLN setuju untuk membeli dari Pertamina tenaga listrik yang dihasilkan oleh fasilitas pembangkitan tenaga listrik yang telah dibangun oleh KBC dan di mana KBC, sebagai kontraktor dari Pertamina, berhak untuk memasok dan menjual kepada PLN untuk dan atas nama Pertamina, tenaga listrik sampai sejumlah 400 Mw dari Proyek Karaha.
                        Terhadap kedua perjanjian di atas, para pihak telah sepakat mengenai pilihan forum dan pilihan hukum. Bahwa dalam hal timbul sengketa antara para pihak maka akan diselesaikan dengan Arbitrase berdasarkan ketentuan United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL), dan dalam kontrak tersebut berlaku hukum Indonesia.
                        Tiga tahun setelah perjanjian dibuat, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Keppres No. 39 Tahun 1997 pada tanggal 20 September 1997 yang isinya menangguhkan pelaksanaan kedua kontrak Karaha Bodas tersebut sehubungan dengan terjadinya krisis moneter yang melanda tanah air. Pada tanggal 1 November 1997, pemerintah mengeluarkan Keppres baru No. 47 Tahun 1997 yang isinya  memerintahkan agar proyek Karaha Bodas, dilanjutkan kembali. Tidak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 10 Januari 1998, pemerintah kembali menerbitkan Keppres No.5 Tahun 1998 yang isinya menangguhkan kembali pelaksanaan proyek Karaha Bodas.
                        Kerugian yang ditimbulkan oleh penangguhan yang berulangkali terhadap kedua kontrak tersebut membuat KBC, pada tanggal 30 April 1998 akhirnya memutuskan untuk mengajukan permasalahan ini ke badan arbitrase Internasional di Jenewa, Swiss. Setelah melalui beberapa kali proses persidangan, Tribunal Arbitrase, berdasarkan putusan tanggal 18 Desember 2000, akhirnya menyatakan bahwa Pertamina telah melakukan pelanggaran terhadap kontrak dan menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi kepada KBC sejumlah US. $ 266.266.654 berikut bnga 4 % pertahun. Berdasarkan putusan tersebut, KBC telah berusaha melakukan permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa, Swiss di Pengadilan beberapa negara di mana asset-asset Pertamina berada seperti di Amerika Serikat, Hong Kong, dan Singapura.
                        Atas putusan arbitrase Jenewa tanggal 18 Desember 2000 tersebut, Pertamina sendiri tidak bersedia melaksanakannya karena dianggap telah melanggar Konvensi New York 1958 dan Undang-undang Arbitrase No.30 Tahun 1999. Sebagai upaya hukum, Pertamina telah meminta Pengadilan Swiss untuk membatalkan putusan arbitrase. Hanya saja upaya ini ditolak (dismiss) karena tidak dibayarnya uang deposit oleh Pertamina sebagaimana dipersyaratkan oleh Swiss Federal Supreme Court.
                        Oleh karena permohonan pembatalannya di Pengadilan Swiss ditolak, maka melalui surat gugatannya tanggal 14 Maret 2002, Pertamina kembali melakukan permohonan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, Swiss kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena putusan tersebut dianggap telah melanggar ketentuan Konvensi New York 1958 dan UU No.30 tahun 1999. Dalam gugatannya tersebut, Pertamina mendalilkan 12 (dua belas) alasan permohonan pembatalan, di antaranya adalah karena putusan tersebut telah bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia dan karena itu, pelaksanaannya harus ditolak.
                        Terhadap dalil gugatan tersebut, KBC dalam eksepsinya menyatakan bahwa gugatan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas karena “ketertiban umum” bukanlah salah satu alasan permohonan pembatalan keputusan arbitrase internasional sebagaimana diatur dalam UU Arbitrase Pasal 70. Pelanggaran “ketertiban umum” hanya dapat diajukan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66.
                        Berdasarkan bukti-bukti yang ada, pada tanggal 27 Agustus 2002 majelis Hakim akhirnya memutuskan menerima gugatan Pertamina  dan menolak eksepsi KBC dengan menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum putusan arbitrase Jenewa, Swiss tanggal 18 Desember 2000 dengan segala akibat hukumnya. Keputusan Majelis Hakim tersebut didasarkan pada beberapa pertimbangan:
1.      Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki wewenang dan mengadili perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, Swiss berdasarkan Konvensi New York 1958 dan Kontrak JOC dan ESC antara pihak Pertamina dan KBC
2.      Gugatan pembatalan putusan Arbitrase Internasional tidak hanya didasarkan pada UU Arbitrase Pasal 70 namun juga didasarkan pada Konvensi New York 1958 Pasal VI Jo. Pasal V ayat (2) b dan UNCITRAL Arbitration Rules
3.      Dalam penjelasan atas Pasal 70 dikatakan bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase, antara lain berdasarkan alasan-alasan pada pasal 70. Dengan adanya penyebutan kata “antara lain” dan bukan kata “yaitu”, dapat diartikan bahwa UU ini memperbolehkan menggunakan alasan-alasan selain yang tercantum dalam Pasal 70.
                        Terkait dengan alasan ketertiban umum yang dijadikan dasar permohonan pembatalan putusan arbitrase Jenewa, Swiss oleh Pertamina, majelis Hakim mempertimbangkan hal-hal berikut:
1.      Menimbang bahwa majelis hakim akan mengacu kepada Peraturan MA (Perma) RI No. 1 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri di Indonesia. Pasal 4 ayat (2) pada Perma RI tersebut menyebutkan bahwa pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri di Indonesia terbatas pada keputusan-keputusan yang tidak bertentagan dengan ketertiban umum dalam seluruh sendi-sendi asasi dan seluruh sistem hukum dn masyarakat Indonesia ;
2.      Menimbang bahwa menurut Erman Rajaguguk dalam bukumnya yang berjudul Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, mengenai ketertiban umum adakalanya diartikan sebagai ‘ketertiban’, kesejahteraan dan keamanan, atau disamakan dengan “ketertiban hukum” atau disamakan dengan “keadilan”. Dalam hal ini bermaksud untuk menyelamatkan dan mengatasi beban negara yang sedang mengalami krisis ekonomi dan moneter malah akan bertambah berat jika proyek geothermal tersebut tetap diteruskan dan akan semakin menyengsarakan perekonomian bangsa Indonesia.



B.     Rumusan Masalah
            Dari uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan beberapa pokok permasalahan dalam penulisan makalah ini:
1.      Apakah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan dalam hal pembatalan putusan arbitrase internasional?
2.      Apakah dalil “ketertiban umum” yang digunakan Pengadila Negeri Jakarta Pusat sebagai dasar hukum pembatalan putusan arbitrase internasional sudah tepat?


























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengadilan Yang Berwenang Membatalkan Putusan Arbitrase Internasional.
            Untuk mengetahui apakah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mempunyai kewenangan membatalkan putusan arbitrase Jenewa, Swiss, sangat penting kiranya untuk terlebih dahulu membedakan antara pembatalan dan penolakan putusan arbitrase internasional. Menurut Hikmawanto Juwana,[10] terdapat perbedaan yang mendasar antara pembatalan dan penolakan putusan arbitrase. Perbedaan pertama dapat dilihat dari segi pengaturan proses dan alasan. Proses dan alasan pembatalan putusan arbitrase diatur dalam perundang-undanga suatu negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian internasional sementara penolakan putusan arbitrase internasional justru mendapat pengaturan dalam perjanjian internasional yang kemudian ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan nasional suatu negara.
            Ketentuan ICSID secara tegas menentukan bahwa yang berwenang memeriksa permohonan pembatalan putusan arbitrase itu tidak lain adalah komite ad hoc.[11] Komite ini dibentuk oleh Chairman of The Administrative Council sebagai badan tertinggi organisasi ICSID. Dengan demikian, permohonan pembatalan putusan arbitrase bukan diperiksa oleh badan peradilan biasa dari suatu negara.
            Berbeda dengan ICSID, Konvensi New York 1958 hanya mengemukakan bahwa pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan oleh Competent Authority atau otoritas yang berwenang di negara mana atau menurut hukum mana putusan arbitrase telah dibuat (the country in which, or under the law of which, that award was made)[12]. Negara inilah yang disebut sebagai Country of Origin (negara asal). Badan peradilan dari Country of origin inilah yang menjadi forum primer yang mempunyai otoritas dan prioritas mengambil langkah pembatalan putusan arbitrase sementara lembaga peradilan dari negara-negara lain hanya menjadi forum sekunder untuk pengakuan atau penolakan pelaksanaan putusan arbitrase.
            Alasan mengapa pelaksanaan dan penolakan putusan arbitrase internasional mendapat pengaturan dalam bentuk perjanjian internasional adalah karena dalam hukum internasional dikenal adanya kedaulatan dan yurisdiksi. Pelaksanaan yurisdiksi suatu negara di negara lain harus seizin negara lain tersebut. Dalam konteks putusan arbitrase ini dibuat oleh suatu negara dan hendak dilaksanakan di negara lain maka harus ada pengakuan dan pelaksanaan oleh negara lain tersebut.[13]
            Pendapat kedua dapat dilihat dari segi konsekuensi hukumnya. Pembatalan putusan arbitrase mengakibatkan dinafikannya suatu putusan arbitrase sehingga suatu putusan arbitrase tersebut seolah-olah tidak pernah dibuat sebelumnya.[14] Pembatalan putusan menyebabkan sengketa hidup kembali dan menyebabkan putusan tidak mengikat lagi. Pembatalan menyebabkan putusan benar-benar tidak ada lagi dan dianggap tidak pernah ada. Putusan dianggap tidak pernah dibuat. Wujud fisik putusan, baik itu sevara formal maupun materi, lenyap seketika bersamaan dengan pembatalan putusan.
            Tidak demikian halnya dengan penolakan. Dalam penolakan, wujud fisik secara formal dan materil putusan tetap eksis. Hanya saja eksekutorialnya saja yang hilang karena telah dilumpuhkan oleh penolakan putusan.[15] Penolakan putusan arbitrase oleh pengadilan tidak berarti menafikan putusan tersebut. Penolakan hanya mempunyai konsekuensi hukum berupa tidak dapatnya putusan arbitrase itu dilaksanakan di wilayah yurisdiksi pengadilan yang menolaknya saja. Jika ternyata di negara lain terdapat aset pihak yang dikalahkan, pihak yang dimenangkan masih dapat meminta eksekusi di pengadilan negara tersebut. Karena itu, jika terdapat pengadilan di negara lain yang menerima putusan arbitrase tersebut, maka putusan itu dapat dieksekusi di yurisdiksi pengadilan yang menerimanya itu.
            Pembatalan putusan arbitrase berbeda dengan upaya banding. Putusan arbitrase menurut sifatnya dan kesepakatan para pihak dalam kontrak pada umumnya, tidak dimungkinkan upaya banding. Putusan arbitrase umumnya disepakati sebagai putusan yang final dan binding. Oleh sebab itu, dalam proses pembatalan putusan arbitrase, pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara. Kewenagan pengadilan terbatas hanya pada kewenangan memeriksa keabsahan prosedur pengambilan putusan arbitrase, antara lain, proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa.[16]
            Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini adalah institusi mana yang berwenang membatalkan putusan arbitrase internasional? dalam masalah ini, Konvensi New York 1958 menentukan bahwa pembatalan putusan arbitrase dilakukan oleh Competent Authority atau otoritas berwenang di negara mana atau menurut hukum mana putusan arbitrase telah dibuat (The country in which, or under the law of which, that award was made)[17]. Jadi yang berwenang membatalkan putusan arbitrase internasional adalah pengadilan dari negara di mana atau menurut hukum mana putusan arbitrase telah dibuat.
            Negara di mana atau menurut hukum mana suatu putusan itu dibuat, disebut sebagai Country of Origin (negara asal). Badan peradilan dari Country of Origin inilah yang menjadi badan berwenang yang mempunyai otoritas mengambil langkah pembatalan putusan arbitrase sementara lembaga peradilan dari negara-negara lain hanya menjadi forum sekunder untuk pengakuan atau penolakan pelaksanaan putusan arbitrase.[18]
            Pembatalan yang dilakukan dalam jurisdiksi primer mengakibatkan dihentikannya atau tidak dapat dilaksanakannya putusan arbitrase tersebut pada jurisdiksi sekunder di negara-negara lain. dengan demikian, pembatalan putusan arbitrase dalam forum primer di country of origin mempunyai akibat secara universal atau ekstrateritorial.[19]
            Berbeda dengan pembatalan, ditolaknya pelaksanaan suatu putusan arbitrase hanya terbatas pada negara di mana suatu putusan dimintakan eksekusinya. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase pada suatu yurisdiksi sekunder di negara lain hanya berakibat tidak dapat dilaksanakannya putusan tersebut di negara bersangkutan dan tidak memiliki pengaruh apapun pada jurisdiksi sekunder di negara-negara lain.[20]
            Lantas yang dimaksud dengan under the law of which dalam ketentuan Konvensi New York Pasal V ayat (1) huruf e tersebut? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sangat penting kiranya untuk membedakan beberapa jenis hukum yang mungkin diterapkan dalam proses arbitrase, yaitu a) Hukum Materiil yang digunakan untuk memutus perkara oleh arbiter. Hukum materiil ini bisa ditentukan oleh pihak yang bersengketa dalam kontrak. b) Hukum Acara yang mengikat bagi para arbiter dan para pihak dalam proses pemeriksaan hingga adanya putusan. c) Lex Arbitri yang merupakan hukum dari suatu negara yang mendasari penyelesaian sengketa melalui arbitrase.[21]
            Gary B. Born berpendapat bahwa kata under the law of which merujuk pada lex arbitri atau hukum arbitrase dari tempat arbitrase atau negara di mana putusan arbitrase dibuat dan bukan hukum substantif yang diterapkan dalam kontrak.[22] secara umum, persoalan yag diatur dalam lex arbitri antara lain adalah berupa keabsahan para pihak untuk menyepakati penggunaan arbitrase, jenis sengketa apa saja yang dapat disepakati melalui arbitrase dan alasan untuk membatalkan putusan arbitrase.[23]
            Pendapat Born tersebut didukung oleh penafsirannya terhadap a brief history background dari Konvensi New York yag menunjukkan bahwa kata under the law of which dalam konvensi tidak lain adalah lex arbitri atau hukum arbitrase dari tempat arbitrase atau negara di mana putusan arbitrase dibuat.[24]
            Dalam suatu kontrak pada umumnya para pihak hanya mengatur hukum ateriil dan hukum acara yang harus digunakan. Hukum materil yang dipilih dapat berupa hukum Indonesia atau hukum inggris sementara hukum acaranya dapat berupa ICC Rules atau UNCITRAL Rules. Sangat tidak lazim bagi para pihak untuk memperjanjikan lex arbitri di dalam kontraknya karena lex arbitri merupakan kaedah yang bersifat memaksa dari negara di mana arbitrase itu dilangsungkan.
            Dalam putusannya tertanggal 27 Agustus 2002, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menegaska kewenangannya memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan keputusan arbitrase jenewa yang diajukan oleh Pertamina setidaknya berdasarkan dua alasan: pertama, berdasarkan Kontrak JOC antara pihak Pertamina dan Karaha Bodas Company, dan kedua berdasarka Konvensi New York 1958.
            Pertimbangan Majelis Hakim menyiratkan suatu maksud bahwa oleh karena para pihak telah menundukkan diri pada ketentuan hukum Indonesia maka konsekuensinya pengadilan Indonesia mempunyai fungsi pengawasan dan penilaian terhadap pelaksanaan setiap keputusan arbitrase yang dibuat berdasarkan hukum Indonesia (termasuk dalam hal membatalkan putusan arbitrase internasional).
            Berkaitan dengan alasan yang kedua, yaitu berdasarkan Konvensi New York, Majelis Hakim tidak secara tegas merujuk Pasal mana dari Konvensi yang dijadikan dasar untuk menegaskan kewenangannya dalam membatalkan putusan arbitrase jenewa. Akan tetapi jika diteliti lebih lanjut, nampaknya Majelis Hakim menggunakan Pasal V ayat (1) khususnya huruf e. Hal ini cukup masuk akal mengingat bahwa hanya pasal ini yang terkait  dengan negara yang diakui dapat mebatalkan putusa arbitrase. Pasal ini menentukan bahwa “The award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made”.[25]
            Berdasarkan Pasal di atas, memang jelas bahwa Konvensi New York 1958 mengakui baik itu eksistensi mengenai pembatalan putusan arbitrase itu sendiri maupun eksistensi Competent Authority yang berwenang membatalkan putusan arbitrase internasional. Konvensi ini mengakui hanya ada dua Competent Authority yang berwenang membatalkan putusan arbitrase internasional yaitu pertama, Competent Authority di negara di mana putusan arbitrase tersebut dibuat. Kedua, Competent Authority di negara di mana yang hukumnya digunakan dalam arbitrase.
            Oleh karena itu, penulis dapay menyimpulkan Majelis Hakim mendasarkan pilihannya pada kompetensi yang kedua yaitu Competent Authority di negara yang hukumnya digunakan dalam arbitrase.
            Berdasarkan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka keputusan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Pusat yang menerima permohonan pembatalan putusan arbitrase Jenewa yang diajukan oleh Pertamina adalah kurang tepat. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrase Jenewa. Pengadilan yang lebih berwenang membatalkan putusan arbitrase Jenewa tidak lain adalah Pengadilan Swiss, karena:
            Pertama, terdapat perbedaan yang mendasar antara pembatalan dan penolakan putusan arbitrase internasional. Jika pada pembatalan putusan arbitrase internasional itu diatur dalam perundang-undangan nasional suatu negara dan tidak diatur dalam sebuah perjanjian internasional sementara penolakan putusan putusan arbitrase internasional justru mendapatkan pengaturan dalam perjanjian internasional, yang selanjutnya dapat ditransformasikan dalam bentuk perundang-undangan nasional suatu negara.[26]Persoalan pembatalan putusan arbitrase internasioal tidak diatur dalam perjanjian internasional. Oleh sebab itu, pengadilan nasional suatu negara tidak mungkin dapat membatalkan putusan arbitrase internasional. Pengaturan  masalah pembatalan putusan arbitrase, oleh Konvensi New York 1958, diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing negara peserta Konvensi. Dengan demikian, setiap negara dapat menentukan sendiri kriteria dan dasar apa yang digunakan menjadi alasan pembatalan putusan arbitrase.
            Ketentuan mengenai pembatalan putusan arbitrase tersebut tidak dapat dipaksakan keberlakuannya di luar wilayah hukumnya atau di negara lain. Ketentuan tersebut hanya dapat dipaksakan keberlakuannya terhadap putusan arbitrase domestik atau yang dibuat dalam wilayah hukum negara yang bersangkutan dan tidak dapat digunakan untuk membatalkan putusan arbitrase internasional atau yang dibuat di luar wilayah hukumnya.
            Berdasarkan hal di atas, jelas bahwa putusan arbitrase Jenewa yang melibatkan pihak Pertamina dan Karaha Bodas Company tidak dapat dibatalkan oleh Pengadilan Indonesia. Pengadilan yang berwenang membatalkan putusan arbitrase jenewa adalah Pengadilan Swiss. Pengadilan Indonesia tidak dapat menggunakan ketentuan hukumnya yang bersifat nasional untuk membatalkan putusan arbitrase yang bersifat internasional. Ketentuan hukum Indonesia dapat dipaksakan oleh Pengadilan Indonesia hanya dalam wilayah yurisdiksi atau wilayah hukum Indonesia. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan agar putusan internasional tersebut tidak dapat dijalankan di suatu wilayah negara Indonesia adalah hanya melalui jalan penolakan dan bukan pembatalan.
            Kedua, Indonesia bukanlah tempat arbitrase yang dipilih oleh para pihak dan oleh karena itu, lex arbitri yang digunakan bukanlah lex arbitri  Indonesia. Oleh karena lex arbitri yang digunakan bukanlah lex arbitri Indonesia maka pengadilan yang berwenang membatalkan putusan arbitrase Jenewa bukalah pengadilan Indonesia. Pengadilan Indonesia hanya memiliki kewenangan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase Jenewa.
            Berdasarkan Kontrak JOC dan ESC, para pihak menundukkan diri menurut ketentuan hukum Indonesia namun Majelis Hakim tidak seharusnya langsung mengambil kesimpulan bahwa dengan dipilihnya hukum Indonesia oleh para pihak dalam Kontrak JOC maka secara otomatis membuat Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan putusan arbitrase Jenewa. Majelis Hakim seharusnya membedakan ketiga jenis pengertian hukum dalam proses arbritase, yakni hukum materiil, hukum acara, dan Lex arbitri.
            Dari ketiga jenis hukum tersebut, hanya hukum yang berkaitan dengan hukum materiil dan hukum acara saja yang dapat dipilih atau diperjanjikan oleh para pihak sementara lex arbitri  tidak dapat begitu saja dikesampingkan oleh para pihak karena lex arbitri  merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa.[27]






















B.     Penggunaan Dalil ‘Ketertiban Umum’ Sebagai Dasar Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional
            Ketertiban umum adakalanya diartikan sebagai ketertiban, kesejahteraan dan keamanan, atau disamakan dengan ketertiban umum, atau sinonim dari istilah keadilan.[28] Adapun pendapat ahli lain mengenai ketertiban umum yaitu tata tertib kehidupan suatu masyarakat, yang meliputi kesadaran moral, hukum, dan agama. Ketertiban umum dapat pula diartikan sebagai nilai yang berkaitan dengan budaya, rasa kepatutan dan keadilan suatu bangsa.[29]
            Sistem-sistem hukum dari negara-negara mengenal pembedaan antara apa yang dinamakan dengan ketertiban umum internasional atau ekstern dan ketertiban umum nasional atau intern. Pembedaan ini bertujuan untuk menundukkan kontrak internasional, putusan pengadilan dan arbitrase asing hanya terhadap ketertiban umum yang berlaku  terhadap hubungan dengan unsur asing dan tidak akan berlaku terhadap hal-hal yang berhubungan dengan ketertiban umum nasional.
            Apa yang dimaksud dengan ketertiban umum nasional adalah ketentuan-ketentuan yang hanya membatasi kebebasan perseorangan.[30] Sementara itu, ketertiban umum internasional adalah kaidah-kaidah yang bertujuan untuk melindungi kesejahteraan negara dalam keseluruhannya atau perlindungan masyarakat pada umumnya. Kaidah-kaidah ini membatasi kekuatan ekstra-teritorial dari kaidah-kaidah asing. Ketertiban umum internasional dapat dikatakan mempunyai kekuatan berlaku secara pengecualian dan jauh lebih kecil dibandingkan dengan ketertiban umum nasional.[31]
            Istilah internasional pada ketertiban umum internasional di sini tidak dipergunakan untuk menjelaskan bahwa ketertiban umum ini bersifat internasional. Ketertiban umum sesungguhnya tidak lain sifatnya adalah nasional. Dengan demikian, ini berarti baik isi maupun sumber dari ketertiban umum itu tidak bersifat internasional melainkan berasal dari nasional. Hanya hubungan-hubungannya yang dianggap internasional, hanya suasananya yang internasional.[32]
            Selain pembedaan di atas, ada pula yang membedakan ketertiban umum menjadi “internal /domestic public policy” dan “international public policy”. “International Public Policy” mewakili bagian dari “Public Policy” yang lebih penting untuk sistem hukum tersebut, ketentuan yang tetap harus dipatuhi dan tidak dapat dimasuki oleh ketentuan atau putusan asing yang bertentangan.
            Sedangkan “Domestic Public Policy” terdiri atas ketentuan “public policy” yang lain yang hanya berlaku dalam hubungan “domestic intern” dan karena itu tidak mencegah masuknya ketentuan asing ke dalam sistem hukum tersebut. Menurut Sanders, pembedaan ini terjadi karena apa yang dianggap termasuk ketertiban umum dalam hubungan domestik belum tentu bahwa hal tersebut juga termasuk dalam ketertiban umum dalam hubungan internasional.[33]
            Tony Budidjaja membedakan ketertiban umum menjadi tiga kategori, yaitu a) “domestic internal public policy” dan “international public policy”; b) “transnational public policy” atau “truly international public policy”; dan “procedural” dan “substantive public policy”. “Substantive public policy” meliputi hukum yang bersifat memaksa, prinsip fundamental dari hukum, bertentangan dengan kesusilaan dan kebijakan nasional. Sementara “procedural public policy” antara lain meliputi: kecurangan arbiter, pelanggaran terhadap prinsip “due process”, keberpihakan arbiter, ketiadaan dasar pertimbangan dalam putusan, pengabaian hukum dan fakta-fakta yang terkait, bertentangan dengan prinsip “res judicata”.[34]
            Sebelum kita membahas dasar-dasar pembatalan putusan arbitrase internasional, maka akan lebih bijaksana kita mengerti terlebih dahulu mengenai pengertian “Pembatalan Putusan Arbitrase” itu sendiri. Pembatalan merupakan suatu perbuatan hukum  yang bermaksud memutuskan, menghentikan, atau menghapuskan sesuatu hubungan hukum.[35] Jadi, pembatalan mensyaratkan adanya suatu hubungan hukum yang ingin dihapuskan oleh pihak yang berkepentingan. Adapun pembatalan putusan arbitrase dapat diartikan sebagai suatu upaya hukum yang diberikan kepada para pihak yang bersengketa untuk meminta kepada Pengadilan Negeri agar suatu putusan arbitrase dibatalkan, baik terhadap sebagian atau seluruh isi putusan.[36]
            Upaya pembatalan bukan merupakan upaya hukum biasa melainkan upaya hukum luar biasa. Upaya pembatalan merupakan upaya hukum yang memaksa yang dapat saja dikesampingkan oleh kedua belah pihak. Jadi, upaya pembatalan tidak sama dengan upaya hukum banding dalam sistem peradilan biasa. Putusan arbitrase
menurut sifatnya dan kesepakatan para pihak dalam kontrak pada umumnya, tidak dimungkinkan upaya banding. Putusan arbitrase umumnya disepakati sebagai putusan yang final dan binding (mengikat). Oleh sebab itu, dalam proses pembatalan putusan arbitrase, pengadilan tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara.
            Kewenangan pengadilan terbatas hanya pada kewenangan memeriksa keabsahan prosedur pengambilan putusan arbitrase, antara lain, proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa.
            Ketentuan UNCITRAL Model Law sendiri mengatur pembatalan putusan arbitrase pada pasal 34. Ketentuan UNCITRAL Model Law membagi dua alasan pembatalan, yaitu alasan yang bersifat “optional” yang dapat diajukan oleh para pihak, dan alasan yang langsung dapat digunakan oleh pengadilan untuk membatalkan putusan arbitrase. Alasan-alasan yang bersifat “optional” meliputi:
5.      Para pihak dalam perjanjian arbitrase tidak memiliki kecakapan atau perjanjian tersebut tidak sah berdasarkan hukum mana para pihak sudah menundukkan diri, atau jika petunjuk mengenai hal itu tidak ada berdasarkan hukum negara di mana putusan itu dijatuhkan;
6.      Pihak yang mengajukan permohonan tidak diberi pemberitahuan yang patut mengenai penunjukan arbiter atau mengenai proses arbitrase atau tidak dapat membela perkaranya;
7.      Putusan berkenaan dengan perselisihan yang tidak dimaksudkan oleh atau tidak termasuk dalam kesepakatan-kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase atau memuat keputusan atas hal-hal yang berada di luar lingkup kesepakatan mengenai pengajuan perselisihan itu ke arbitrase, dengan ketentuan bahwa apabila putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat dipisahkan dari putusan yang tidak diajukan, maka bagian dari putusan arbitrase yang mencantumkan putusan atas hal-hal yang diajukan ke arbitrase dapat diakui dan dilaksanakan;
8.      Komposisi majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan perjanjian para pihak atau, apabila perjanjian tersebut tidak ada, tidak sesuai dengan hukum negara di mana arbitrase itu dilangsungkan.[37]
          Sedangkan alasan-alasan yang dapat digunakan langsung oleh Pengadilan untuk membatalkan putusan meliputi: pokok perkara tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum negara ini atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum dari negara ini.[38] Namun, kedua alasan terakhir ini oleh Konvensi New York 1958 justru digunakan sebagai dasar yang memungkinkan pengadilan suatu negara untuk menolak pelaksanaan suatu putusan arbitrase dan bukan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.[39]
            Dalam salah satu gugatan pembatalannya, Pertamina mendalilkan bahwa putusan arbitrase Jenewa bertentanga dengan ketertiban umum Republik Indonesia, yakni melanggar Keppres No. 39 tahun 1997 dan Keppres No. 47 tahun 1997 yang menangguhkan pelaksanaan proyek yang berkaitan dengan pemerintah termasuk Karaha Bodas serta UU Arbitrase Pasal 66.  Dalam hal ini Majelis Hakim dalam pertimbangannya justru melihat bahwa alasan pembatalan putusan arbitrase tidak hanya berdasarkan Pasal 70 UU Arbitrase tapi juga berdasarkan pada Konvensi New York 1958 Pasal VI jo. Pasal V ayat (2).
            Menurut Majelis Hakim, karena Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 maka Konvensi telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia dan karena itu dapat dijadikan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase internasional. Akan tetapi dalam hal ini pertimbangan Majelis Hakim dianggap kurang tepat karena Konvensi New York sendiri tidak mengatur persoalan pembatalan putusan arbitrase internasional melainkan hanya mengatur persoalan pelaksanaan dan penolakan putusan arbitrase internasional.
            Konvensi New York 1958 Pasal V ayat (1) huruf e menyatakan bahwa:
“Recognition and enforcement of the award may be refused...only of that party funishes to the competent authority where the recognition and enforcement is sought, proof, that, ...the award ...has been  set aside or suspend by a competent authority of the country in which the award was made”
            Berdasarkan ketentuan di atas, Konvensi hanya memberikan kemungkinan bahwa suatu putusan arbitrase yang dibatalkan oleh Competent Authority di mana atau menurut hukum mana suatu putusan arbitrase dibuat, dapat dijadikan dasar untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
            Syarat “ketertiban Umum” memang dapat ditemukan dalam Konvensi New York 1958 Pasal V ayat (2). Akan tetapi, syarat “ketertiban umum” dalam konteks ini bukan berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase internasional melainkan berkaitan dengan penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Konvensi sama sekali tidak menentukan bahwa syarat ketertiban umum sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase internasional. oleh sebab itu, jika ketentuan Konvensi New York 1958 Pasal V ayat (2) yang dijadikan dasar oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa maka keputusan Majelis Hakim dinilai kurang tepat. Sikap Majelis Hakim baru tepat jika Majelis hakim menjadikan Konvensi New York 1958 Pasal V ayat (2) hanya sebagai dasar penolakan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.[40]
            Dalam pertimbangan yang lain, Majelis Hakim juga menggunakan Pasal 70 UU Arbitrase sebagai dasar hukum pembatalan putusan arbitrase internasional. Namun jika kita cermati lebih jauh dapat dikatakan bahwa penggunaan pasal 70 UU Arbitrase sebagai dasar hukum pembatalan putusan arbitrase internasional adalah tidak tepat. Hal ini dikarenakan pembatalan putusan arbitrase internasional itu tidak diatur dalam suatu perjanjian internasional, melainkan hanya diatur dalam perundang-undangan nasional saja, maka pengadilan nasional suatu negara tidak mungkin membatalkan putusan arbitrase internasional. Pasal 70 UU Arbitrase hanya berlaku sepanjang mengenai putusan arbitrase nasional, dan tidak berlaku bagi putusan arbitrase internasional karena Pengadilan Indonesia tidak mungkin membatalkan putusan arbitrase internasional.
            Hikmahanto Juwana sendiri melihat bahwa pembentuk undang-undang sebenarnya tidak bermaksud untuk memberi kemungkinan pengadilan di Indonesia melakukan pembatalan putusan arbitrase internasional. Hal ini terlihat dari istilah putusan arbitrase dalam Pasal 65 hingga Pasal 69 di mana digunakan istilah “putusan arbitrase internasional”. Sementara dalam pengaturan mengenai pembatalan putusan arbitrase sebagaimana tertuang dalam Pasal 70 hingga Pasal 72, istilah yang digunakan adalah “putusan aritrase”.[41]
            Di samping itu, alur pembahasan dari Undang-undang Arbitrase sendiri lebih berkaitan dengan putusan arbitrase yang dilakukan di Indonesia. Jika mencermati sistematika UU Arbitrase khususnya yang mengatur substansi arbitrase, terlihat bahwa UU Arbitrase secara umum sesungguhnya lebih mengatur tentang proses arbitrase, dari pemeriksaan hingga pelaksanaan putusan arbitrase yang dilakukan di Indonesia.
            Alasan lain adalah terlihat pada pengaturan mengenai pengadilan yang berwenang  untuk menerima pendaftaran putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan terhadap putusan arbitrase internasional, sebagaimana diatur dalam pasal 65 dan 67 (1),  pembentuk UU menunjuk secara eksklusif ‘Pengadilan Negeri Jakarta Pusat’. Sementara dalam pembatalan putusan arbitrase, sebagaimana diatur dalam Pasal 71, tidak dilakukan secara eksklusif di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melainkan bisa didaftarkan di Panitera Pengadilan Negeri. Berdasarkan logika di atas, maka jelas kiranya bahwa UU Arbitrase Pasal 70 hanya merupakan landasan pembatalan terhadap putusan arbitrase domestik atau putusan arbitrase yang dibuat oleh arbitrase di Indonesia. Pasal 70 bukan merupakan landasan pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional.
            Oleh karena UU Arbitrase Pasal 70 hanya merupakan dasar pembatalan putusan arbitrase domestik maka ‘ketertiban umum’, yang oleh Majelis Hakim  dinisbatkan kepada UU Arbitrase Pasal 70, juga seyogyanya hanya dapat dijadikan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase domestik.
            Adapun dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim dalam hal membatalkan Arbitrase Jenewa dengan dalih ‘Ketrtiban Umum’ yakni Majelis Hakim merujuk kepada konsep ketertiban umum yang terdapat dalam Konvensi New York 1958 Pasal V (2) huruf b[42] dan Perma No. 1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2). Oleh Majelis Hakim, kedua ketentuan tersebut terlihat buka semata-mata dimaksudkan untuk memberikan penjelasan mengenai pengertian ketertiba umum tapi untuk memberian keyakinan bahwa Majelis Hakim memiliki pijakan yuridis yang kuat dalam membatalkan putusan arbitrase Jenewa berdasarkan alasan melanggar ketertiban umum, karena kedua ketentuan tersebut sebenarnya tidak memberikan penjelasan yang cukup komprehensif mengenai batasan ketertiban umum.    
            Konvensi New York 1958 Pasal V (2) huruf b:
“...The Recognition and enforcement of an arbitral award  would be contrary to the public policy of that country.”
            Konvensi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai apakah yang dimaksud dengan ketertiban umum itu. Konvensi New York menyerahkan penafsiran mengenai ketertiban umum kepada masing-masing negara karena Konvensi menyadari sepenuhnya perbedaan ketertiban umum masing-masing negara. Dengan demikian, konvensi memberikan kesempatan kepada masing-masing negara untuk mempergunakan konsep ketertiban umumnya sendiri.
            Adapun Sudargo Gautama menyatakan bahwa fungsi daripada lembaga ketertiban umum, adalah seolah-olah suatu “rem darurat” yang kita ketemukan pada tiap kereta api. Pemakaiannya juga harus secara hati-hati dan seirit mungkin. Karena apabila kita terlampau lekas menarik rem darurat ini, maka ‘kereta Hukum Perdata Internasional (HPI)” tidak dapat berjalan dengan baik. [43]
            Penyalahgunaan daripada ‘rem darurat’ ini diancam dengan hukuman. Jika kita terlalu banyak mempergunakan lembaga ketertiban umum, berarti bahwa kita akan selalu memakai hukum nasional kita sendiri, padahal HPI kita sudah menentukan dipakainya hukum asing. Dengan demikian maka tidaklah dapat berkembang HPI ini.[44]
            Bila kita mencermati mengenai klausula “ketertiban umum”, hendaknya Majelis Hakim perlu kehatian-kehatian dalam menentukan pertimbangannya untuk membatalkan suatu putusan arbitrase internasional. Hal ini dikarenakan masalah “ketertiban umum” ini adalah persoalan yang sensitif dan apabila kita terlampau lekas menarik alasan “ketertiban umum”, maka Hukum Perdata Internasional tidak dapat berjalan dengan baik.
            Penjelasan mengenai ketertiban umum memang dapat ditemukan dalam ketentuan Perma No. 1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2). Namun,  penjelasan yang diberikan juga dirasakan masih terlalu umum dan kabur. Menurut Perma No. 1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2) adalah sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia.[45]
            Menurut Erman Rajagukguk, ‘ketertiban umum’ adakalanya diartikan sebagai “ketertiban, kesejahteraan, dan keamanan” atau disamakan dengan “ketertiban hukum” atau disamakan dengan “keadilan”.[46] Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh Erman Rajagukguk tersebut, Majelis Hakim mendapatkan bahwa hal apa yang dianggap sebagai bertentangan dengan ketertiban umum itu tidak lain adalah bahwa putusan arbitrase Jenewa telah melanggar Keppres No. 39 tahun 1997 dan Keppres No. 47 tahun 1997 yang menyatakan bahwa semua proyek yang membutuhkan dana besar yang berkaitan dengan pemerintah termasuk Proyek Karaha Bodas, ditangguhkan pelaksanaannya. Kedua Keppres tersebut dikeluarkan oleh pemerintah atas pemerintah IMF yang bertujuan untuk menyelamatkan dan mengatasi beban negara yang sedang dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
            Jika sekilas dicermati mengenai kedua alasan yang digunakan oleh Majelis Hakim adalah  sudah tepat karena penilaian Majelis Hakim didasarkan pada kriteria yang jelas dan bukan didasarkan pada alasan yang mengada-ada untuk mengabaikan putusa arbitrase. Majelis Hakim telah mampu menunjukkan kriteria dari konsep ketertiban umum yang ditentukan oleh Perma No. 1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2) yaitu sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat Indonesia. Meskipun rumusan tersebut masih dinilai kabur da umum namun paling tidak, kriteria yang digunakan oleh Majelis Hakim tersebut telah menampilkan aspek penting baik itu dari sistem hukum maupun dari sistem masyarakat, yaitu adanya Keppres No.39 tahun 1997 dan Keppres No. 5 tahun 1998 dan krisis moneter yang melanda bangsa.
            Kalimat “sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat” pada ketentuan Perma No.1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2) mengisyaratkan bahwa apa yang dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum hanyalah putusan arbitrase yang nyata-nyata melanggar hal-hal yang bersifat prinsip atau fundamental baik itu dari sistem hukum maupun sistem kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa:
            Pertama, tidak semua pelanggaran terhadap ketentuan UU dapat dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum. Ada ketentuan –ketentuan hukum yang jika dilanggar mengakibatkan dapat dikategorikan melanggar ketertiban umum  sehingga dapat menyebabkan suatu putusan arbitrase ditolak pelaksanaannya atau bahkan dibatalkan, seperti pelanggaran atas penunjukan para arbiter, rules yang diterapkan tidak sesuai dengan yang disepakati.[47]
            Sebaliknya, ada pula beberapa ketentuan yang jika dilanggar maka tidak perlu sampai dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum sehingga tidak sampai pelanggarannya dihukum dengan penolakan atau pembatalan, misalnya saja kesalahan penulisan nama para pihak, putusan dijatuhkan melampaui batas tenggang waktu, putusan lupa mencantumkan jumlah biaya arbitrase dan lain-lain.[48] Hal ini masuk akal sebab jika semua pelanggaran terhadap ketentuan UU dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum maka dapat dipastikan bahwa hanya sangat sedikit sekali putusan arbitrase internasional yang dapat dilaksanakan di wilayah Republik Indonesia karena sebagian besar pelaksanaan putusan arbitrase internasional akan bertentangan denga prosedur-prosedur yang secara internal diatur dalam ketentuan-ketentuan hukum.
            Kedua, tidak semua pelanggaran terhadap sistem kehidupan masyarakat juga dapat dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum. Hanya pelanggaran terhadap prinsip dasar dari moralitas dan keadilan masyarakat Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum.[49] Demikian pula, pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat secara nasional, baik itu menyangkut ketertiban, keamanan, kesejahteraan, dapat juga dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum.[50]
            Adanya penyempitan makna di atas memang masih belum menjamin bahwa hakim akan menjadi lebih mudah untuk menetapkan bahwa pelaksanaan suatu putusan arbitrase telah merusak rasa keadilan, merusak ketertiban dan keamanan, atau mengurangi kesejahteraan masyarakat karena apa yang dinamakan dengan ketertiban, keamanan, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat itu sendiri bersifat abstrak sehingga sulit untuk mengukur atau menilainya.
            Oleh karena itu, tidak mudah bagi hakim untuk menetapkan bahwa suatu putusan arbitrase itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Hakim hanya dapat menilai berdasarkan pertimbangan, asumsi atau kalkulasi tertentu terhadap kehidupan masyarakat bahwa putusan arbitrase tersebut memang akan melanggar kepentingan publik jika putusan tersebut dilaksanakan. Karena hanya berdasarkan pertimbangan, asumsi, dan kalkulasi tertentu saja, sangat mungkin terjadi bahwa apa yang oleh hakim dianggap sebagai melanggar sendi-sendi kehidupan masyarakat nyatanya tidak memiliki dampak yang signifikan dengan kesejahteraan, keadilan, keamanan, atau kesejahteraan masyarakat.
            Dalam hal ini bahwa antara undang-undang dan realitas, antara “das solles” dan “das sein”, antara idealita dan realita memiliki keterkaitan yang erat. Undang-undang tidak lahir dari ruang hampa. Undang-undang lahir dari suatu kepentingan, dari suatu fakta. Sebaliknya, fakta itu sendiri menjadi lebih jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Undang-undang tidak lahir dari ruang hampa. Undang-undang lahir dari suatu kepentingan, dari suatu fakta. Sebaliknya, fakta itu sendiri menjadi lebih jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Undang-undang merupakan cermin dari realitas. Fakta atau realitas yang tidak ditampilkan dalam suatu ketentuan undang-undang merupakan fakta yang dipersangkakan adanya.[51]
            Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998 dapat dikategorikan sebagai ketentuan yang bersifat memaksa. Oleh karena itu, jika ketentuan ini dilanggar maka dapat dikategorikan sebagai melanggar ketertiban umum sehingga  dapat digunakan sebagai melanggar ketertiban umum sehingga dapat digunakakan sebagai dasar mengabaikan putusan arbitrase internasional.
            Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998 sendiri terkait dengan adaya fakta berupa krisis ekonomi dan moneter yang ingin ditanggulangi oleh pemerintah sehingga tercipta keamanan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kedua, adanya fakta krisis ekonomi dan moneter yang mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia tersebut bukan sesuatu yang dipersangkakan sendiri oleh Majelis Hakim melainkan benar-benar nyata karena telah dituangkan dalam ketentuan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998. Keberadaan suatu fakta berupa krisis moneter yang mengancam kesejahteraan masyarakat Indonesia mendapatkannya penegasannya atau pengakuannya dalam undang-undang.
            Pelanggaran terhadap suatu undang-undang tidak perlu dianggap bertentangan dengan ketertiban umum jika tidak terkait atau relevan dengan suatu fakta (sendi-sendi kehidupan masyarakat) yang dirujuk dalam ketentuan tersebut. Sebaliknya, pelaksanaan suatu putusan juga tidak perlu dianggap bertentangan dengan ketertiban umum jika sendi-sendi kehidupan yang dilanggar itu hanya berupa persangkaan atau tidak dituangkan dalam ketentuan undang-undang. Demikian pula halnya dengan Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998.
            Jika Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Keppres No. 5 Tahun 1998 tidak terkait dengan adanya fakta krisis ekonomi dan moneter yang mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia maka pelanggaran terhadapnya tidak perlu dikategorikan sebagai bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia. Demikian pula, sebaliknya, pelaksanaan suatu putusan arbitrase juga tidak perlu dianggap bertentangan dengan ketertiban umum jika fakta krisis ekonomi dan moneter yang dianggap mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia hanya berupa persangkaan dari Majelis Hakim.
            Antara Keppres No. 39 Tahun 1997 dan Kepres No. 5 Tahun 1998 ada fakta krisis ekonomi dan moneter yang mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia adalah saling terkait sehingga apabila digunakan oleh Majelis Hakim sebagai dasar hukum untuk menyatakan bahwa putusan arbitrase Jenewa bertentangan dengan ketertiban umum Republik Indonesia adalah sudah tepat.























BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Apabila dilihat dari ketentuan-ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 1999, ICSID, dan Konvensi New York 1958, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan terhadap putusan arbitrase internasional.
2.      Penulis menilai bahwa penggunaan dalil “ketertiban umum” oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai dasar dalam membatalkan putusan arbitrase intenasional adalah tidak tepat karena dalam ketentuan Undang-undang No. 30 tahun 1999, ICSID, dan Konvensi New York 1958, syarat ketertiban umum tidak ditemukan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase internasional. Adapun penggunaan dalil “ketertiban umum” dalam hal pembatalan putusan arbitrase internasional dalam ketentuan Undang-undang No. 30 tahun 1999, ICSID, dan Konvensi New York 1958, bukan berkaitan dengan pembatalan putusan melainkan berkaitan dengan penolakan dan pelaksanaan putusan arbitrase. Akan tetapi penilaian Majelis Hakim terhadap dalil “ketertiban umum” adalah sudah tepat karena penilaian tersebut tidak hanya dinilai dari pandangan para hakim semata melainkan didasarkan terhadap fakta-fakta bahwa putusan arbitrase internasional dalam hal ini putusan arbitrase Jenewa, Swiss bertentangan dengan sendi-sendi azasi dari sistem hukum Indonesia yaitu Keppres No. 39 Tahun 1997 dan  Keppres No. 5 Tahun 1998.

B.     Saran
1.      Para Majelis Hakim hendaknya lebih memahami berbagai ketentuan arbitrase yang ada baik itu ketentuan arbitrase yang bersifat internasional maupun nasional sehingga tidak salah dalam memahami dan menafsirkan hukum. Terjadinya perbedaan pemahaman dan penafsiran di antara para Majelis Hakim terhadap berbagai ketentuan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
2.      Para Majelis Hakim hendaknya tidak terburu-buru menggunakan dalil “ketertiban umum” dalam hal pembatalan suatu putusan arbitrase internasional karena dalil “ketertiban umum” sendiri mempunyai makna dan jangkauan yang luas. Supaya lebih memberikan kepastian hukum kepada para pihak, hendaknya penafsiran terhadap “ketertiban umum” ini tidak didasarkan pada anggapan hakim semata melainkan benar-benar didasarkan pada ketentuan hukum yang ada dan fakta sosial yang dirujuk oleh ketentuan tersebut.





























DAFTAR PUSTAKA

-          Budidjaja, Tony, 2005, Pembatalan Putusan Arbitrase Di Indonesia,www.hukumonline.com
-          Fuady, Munir, 2000, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesian Sengketaa Bisnis, Citra Aditya: Bandung
-          Gautama, Sudargo, 1987, Pengantar Hukum Perdata Internasional, Binacitra, Bandung
-          Harahap, M. Yahya, 2004, Arbitrase, Sinar Grafika, Jakarta
-          Juwana, Hikmahanto, 1994, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan Nasional, Jurnal Hukum Bisnis
-          Longdong, Tineke Louise Tuegeh, 1998, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New York 1958, Citra Aditya Bakti, Bandung
-          Rajagukguk, Erman, 2001, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta

PERATURAN-PERATURAN:
-          Konvensi New York 1958
-          Konvensi ICSID
-          Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 Tentang Arbitrase

INTERNET
-          www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 19 April 2011
-          www.pemantauperadilan.com, diakses pada tanggal 19 April 2011



[1] Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2001 hlm. 77
[2] M. Yahya Harahap, Arbitrase, cet III Sinar Grafika, Jakarta, 2004,, hlm. 38
[3] Tineke L. T. Longdong, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New York 1958, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 98
[4] Ibid, hlm. 143
[5] Ibid, hlm. 144
[6] Konvensi New York Pasal V ayat (2)
[7] Munir Fuady, Arbitrase Nasional: Alternatif Penyelesian Sengketaa Bisnis, Citra Aditya: Bandung hlm. 10
[8] UNCITRAL Model Law Pasal 34 ayat (2) huruf a
[9] UNCITRAL Model Law Pasal 34 ayat (2) huruf b

[10] Hikmawanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbutrase Internasional Oleh pengadilan Nasional,  dalam jurnal Hukum Bisnis, volume 21, Oktober-November 2002, hlm.68

[11] ICSID Pasal 52 ayat (3)
[12] Konvensi New York Pasal VI
[13] www.pemantau peradilan.com

[14] Himahanto Juwana, Opcit, hlm.68
[15] M. Yahya Harahap, Perlawanan Terhadap Eksekusi Grose Akte Serta Putusan Pengadilan Dan Arbitrase Dan Standar Hukum Eksekusi, cet I Citra Aditya, Bandung. 1993, hlm.271
[16] Ibid
[17] Konvensi New York Pasal VI
[18] Sudargo Gautama, Arbitrase Luar dan Pemakaian Hukum Indonesia, cet I Citra Aditya, Bandung, 2004, hlm. 73-74 dan 86
[19] Ibid, hlm.64, 77-78
[20] Ibid
[21] Hikmawnto Juwana, Opcit, hlm. 68-69
[22] Gary B. Born, International Commercial Arbitration, hlm. 635
[23] Hikmawanto Juwana, opcit, hlm.68-69
[24] Diangsa Wagian, Penggunaan Syarat Ketertiban Umum Sebagai Dasar Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Di Indonesia, UGM: 2006
[25] Konvensi New York 1958, Pasal V (1)
[26] Hikmawanto Juwana, opcit,hlm.68
[27] Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional, cet V Alumni: Bandung, 1987, hlm.195
[28] Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2001 hlm. 77
[29] M. Yahya Harahap, Arbitrase, cet III Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 38
[30] Tineke L. T. Longdong, Asas Ketertiban Umum Dan Konvensi New York 1958, Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 98
[31] Ibid, hlm. 143
[32] Ibid, hlm. 144
[33] Ibid, hlm. 111
[34] Tony Budidjaja, Public Policy As Griounds For Refusal Of Recognition And Enforcement Of Foreign Arbitral Awards In Indonesia, cet I Jakarta: PT. Tatanusa. 2002, hlm. 49-72
[35] Konvensi New York Pasal V ayat (2)
[36] Munir Fuady, Arbitrase..., hlm. 107
[37] UNCITRAL Model Law Pasal 34 ayat (2) huruf a
[38] UNCITRAL Model Law Pasal 34 ayat (2) huruf b

[39] Konvensi New York 1958 Pasal V ayat (2)
[40] Diangsa Wagian, Penggunaan Syarat Ketertiban Umum Sebagai Dasar Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional Di Indonesia, FH UGM, 2006
[41] Hikahanto Juwana, Opcit, hlm. 71
[42] Konvensi New York 1958 Pasal V (2) huruf b
[43] Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung: Binacipta, hlm. 133
[44] Ibid, hlm. 134
[45] Perma No. 1 tahun 1990 Pasal 4 ayat (2)
[46] Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama, 2001
[47] M. Yahya Harahap, Arbitrase, cet III Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.308-309
[48] Ibid, hlm. 311-315
[49] Tony Budidjadja, Public Policy As Grouds For Refusal The Recognition And Enforcement Of International Arbitration Award In Indonesia, cet I PT. Intermasa: Jakarta, 2002, hlm. 39
[50] Erman Rajagukguk, opcit, hlm. 40
[51] Wignjosoebroto, Soetandyo, Hukum Dan Pemaknaannya Menurut Pengalaman Kebahasaan Para Penggunaannya: Sebuah Pengantar Ke Arah Kajian Hukum Dengan Pendekatan Semiotika, Majalah  Jentera Majalah Hukum, 2002, hlm. 6-12