Sabtu, 11 Agustus 2012

Keindahan Toleransi Islam Terhadap Pemeluk Agama Lain

Meski di berbagai tempat Alquran mengkritik dan meluruskan beberapa ajaran ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani, tetapi Alquran tetap mengakui keragaman dalam keyakinan/akidah dan syariah. Bahkan Islam tidak memaksa manusia untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama di dunia. Melalui informasi Alquran, Nabi Muhammad saw sangat mengerti bahwa setiap upaya pemaksaan terhadap suatu agama akan mengalami kegagalan, sebab itu bukan hanya menyalahi hukum kebiasaan tetapi juga bertentangan dengan kehendak Tuhan.

"Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat," (QS 11:118).

Perbedaan dalam ayat di atas diungkapkan dalam bentuk kata kerja masa kini dan mendatang (mudhari), sehingga mengesankan perbedaan tersebut, yang menurut ar-Razi berupa keragaman agama, adalah sesuatu yang selalu ada pada setiap zaman, masa lalu, kini, dan mendatang.

Dalam ayat lain, Allah berfirman: " Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya," (QS 10:99).

Dari sini Alquran menetapkan prinsip kebebasan bergama agar para penganut agama yang beragam dapat hidup berdampingan, aman, damai dan sejahtera. Tidak ada paksaan dalam beragama (QS Al-Baqarah:256). Prinsip ini telah dinyatakan jauh sebelum dunia menetapkan kebebasan beragama pasca Revolusi Prancis pada tanggal 4 Agustus 1789 dan baru terealisasi pada tahun 1791 yang ditandai dengan berakhirnya diskriminasi terhadap kelompok Yahudi.

Salah satu bukti nyata penegakkan prinsip ini, Islam membiarkan rumah-rumah ibadah di wilayah yang dikuasainya berdiri dan tidak merusak atau menghancurkannya. Ketika berhasil menaklukkan Yerusalem, Khalifah kedua, Umar ra, memberikan jaminan keamanan terhadap jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen. Beliau mengatakan, “Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan juga tidak boleh disakiti,".

Dalam hal ini, Islam tidak hanya mengambil sikap pasif dengan tidak memperkenankan pemaksaan dalam beragama, tetapi selangkah lebih maju karena Islam memberikan penghormatan dengan memberikan hak-hak sepenuhnya kepada setiap jiwa manusia sampai pun dia seorang non-Muslim.

Ungkapan Nabi saw yang sangat populer dalam hal ini: 'lahum ma lana wa ‘alayhim ma ‘alayna' (mereka/non-Muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita umat Islam). Selain kebebasan beragama dalam bentuk pendirian rumah ibadah dan penyelenggaraan ritual keagamaan, mereka memiliki hak-hak yang dijamin oleh Islam seperti hak persamaan dalam perlakuan, hak perlindungan terhadap jiwa dan harta, hak jaminan sosial dan sebagainya.

Di dalam Islam tidak dikenal fanatisme agama dalam pengertian sempit yang berakibat pada perlakuan diskriminasif terhadap agama lain. Universalitas dakwah Islam menuntut cara-cara santun agar tercipta stabilitas dan kedamaian untuk semua umat manusia. Untuk mewujudkan misi damai hidup berdampingan antara umat-umat beragama Alquran menetapkan kaidah perbedaan agama tidak sepatutnya menghalangi kita berlaku baik dan adil terhadap yang berbeda.

Dialog merupakan upaya untuk hidup berdampingan di tengah kemajemukan yang merupakan sunnah kehidupan. Karena itu, dalam dialog harus ada pengakuan penghormatan terhadap eksistensi masing-masing. Segala sesuatu yang dapat menyinggung perasaan orang lain, sekecil apapun itu, harus dihindari. Dalam berdialog dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrik Alquran menggunakan kata-kata santun dan bersahabat, seperti “wahai orang-orang kafir” atau musyrik, kecuali hanya di satu tempat di surah al-Kafirun. Menurut sebab pewahyuannya, surah itu menggunakan kata “wahai orang –orang kafir” untuk menepis harapan orang-orang musyrik saat itu agar umat Islam rela menanggalkan ajaran tauhid yang mereka yakini. Itu pun kemudian ditutup dengan sebuah sikap toleran, “lakum dinukum waliya din" (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).

Jika menyinggung perasaan saja harus dihindari apalagi sampai mencela atau mencaci keyakinan orang yang berbeda agama. Allah berfirman:"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan."(QS 6:108).

Begitu banyak persamaan yang terdapat dalam agama-agama. Seperti dikatakan Prof Dr Ali as-Saman, Ketua Komisi dialog Antaragama Mesir, “Tidak ada konflik agama, yang terjadi adalah konflik anatara kekuatan politik atau ekonomi yang menjadikan agama sebagai perisai/tameng untuk melancarkan gempuran dan serangan.
Melalui dialog diharapkan kebekuan hubungan semakin mencair, sehingga tidak ada lagi kebencian dan fanatisme di antara para pemeluk agama. Melalui budaya dialog akan lahir sikap kasih sayang, semangat persaudaraan dan toleransi yang akan menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Dialog antara pemeluk agama menjadi semakin penting di tengah gempuran ateisme modern dan globalisasi yang mengesampingkan nilai-nilai spiritual dan moral".
 

Oleh:Muchlis M Hanafi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar