Senin, 19 September 2011

Kebuntuan Legalitas Formal Di Institusi Penegak Hukum

Kebuntuan Legalitas Formal Di Institusi Penegak Hukum
Oleh: Kukuh Tejomurti,S.H
            Kegelisahan penulis akan kejumudan, kekerdilan, dan kebuntuan dalam berhukum pada institusi penegak hukum khususnya pada institusi Kors Bhayangkara  semakin menjadi-jadi dengan adanya kasus Saiful Jamil sekarang ini. Seorang penyanyi sekaligus aktor film tersebut dijadikan tersangka dengan dugaan telah melakukan tindak pidana yaitu adanya kelalaian (kealpaan) yang menyebabkan kematian seseorang yaitu istrinya sendiri. Dari kacamata legal-formal, menurut penulis institusi kepolisian memang sudah benar dalam hal melakukan penyidikan terhadap Saiful Jamil dan menyimpulkan bahwa dia telah dapat dimasukan dalam unsur-unsur tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya, meskipun jika dilihat dari sisi sosiologis dan filsafat hukum tampaknya kesimpulan dari pihak kepolisian tersebut masih bisa kita perdebatkan.
            Perdebatan ini muncul karena menurut penulis tampaknya institusi Korps Bhayangkara tersebut kurang memperhatikan dan memahami bahwa hukum itu tidaklah selalu teks undang-undang, namun yang terpenting adalah keadilan dari  dibentuknya hukum tersebut. Hukum adalah untuk manusia dan bukanlah manusia yang ditarik-tarik ke dalam skema hukum positif apabila ada permasalahan dengan hukum tersebut. Menurut penulis biarlah dikatakan apabila kepolisian tersebut kurang profesional terhadap apa yang tertulis dalam undang-undang akan tetapi yang lebih penting adalah kepolisian di negeri ini bisa dikatakan adil dan arif dalam menyikapi fenomena-fenomena hukum yang ada di masyarakat sehingga slogan kepolisian sebagai pengayom masyarakat dapat menjadi terwujud.
Berhukum Dengan Moralitas
            Menurut Fritjof Capra, sekarang ini kita hidup dalam suatu masa ‘turning point’. Ketidakmampuan kita untuk kembali melihat kehidupan manusia dengan pandangan yang utuh, menurut Capra, menyebabkan terjadi krisis dalam dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual manusia.
            Orang tidak bisa memusatkan perhatian pada satu obyek yang dipisahkan dari lingkungannya, melainkan  membiarkan obyek tersebut bersatu dengan lingkungannya. Oleh karena itu kita dalam berhukum pun tidak seharusnya memisahkan antara kepastian hukum undang-undang dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan yang ada di masyarakat.
            Masalah-masalah kebuntuan formal ini tampaknya tidak sekali terjadi di negeri ini akan tetapi sudah berkali-kali dan yang memprihatinkan hal ini tidak menjadi pelajaran atau hikmah bagi para penegak hukum kita. Fenomena peradilan terhadap “orang kecil” misalnya: a) kasus pencemaran nama baik dokter dan Rumah Sakit Omni Internasional oleh Pritha Mulyasari (ditahan sejak 3 Mei 2009 – 3 Juni 2009, Tangerang); 2) kasus pencurian satu buah semangka (Kediri), dengan mana Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan satu bulan; 3) kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000,- yang menyebabkan empat anggota keluarga Manisih, dua anaknya  dan sepupunya ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Rowobelang Batang; 4) kasus Pak Klijo Sumarto (76 tahun) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp2.000,- di Sleman, dan ia mendekam di LP Cebongan Sleman; kasus Mbok Minah, dengan mana Mbok Minah dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp2.100,-  pada 2 Agustus 2009 di Purwokerto, ia dihukum pidana percobaan satu bulan 15 hari; dan 6) kasus Lanjar yang kehilangan nyawa isterinya karena kecelakaan bersama, namun ia didakwa menghilangkan nyawa orang lain karena kelalaiannya dan harus mendekam di penjara di Karanganyar.
            Kasus-kasus di atas tampaknya telah membuktikan bahwa hukum hanya dipahami sebatas lapisan legal formalistik yang terpenjara dalam pasal-pasal dan terasing dari masyarakatnya  sehingga sering mengalami kebuntuan legalitas formalnya. Hal ini ibarat ‘menanti pelangi dalam malam yang gelap gulita’, yakni hukum tersebut tidak akan berguna bagi masyarakat melainkan akan menjadi sesuatu yang bisa “membunuh” pelan-pelan di dalam masyarakat.
            Marc. Galanter yang mengatakan bahwa ‘the haves always come out ahead’ bisa menggambarkan fenomena-fenomena peradilan sesat yang ada di negeri ini. Hukum seperti sebilah pisau dapur yakni tajam ke ke bawah namun tumpul ke atas yang berarti hukum terhadap ‘orang kecil’ semakin represif, sedangkan terhadap ‘orang besar’ hukum bersifat melindungi dan memihak. Fenomena peradilan terhadap ‘orang kecil’ dan ‘orang besar’ tersebut seolah menunjukkan bahwa penegakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan subsrantif.
Pancasila Sebagai Penuntun ‘Non Enforcement of Law’
            Tidak kita pungkiri bahwa Pancasila sebagai kesepakatan politik hukum nasional bangsa Indonesia harus kita terapkan dalam berhukum. Sebagai paradigma pembangunan hukum, Pancasila memiliki sekurang-kurangnya empat kaidah penuntun yang harus dijadikan pedoman dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia. Keempat kaidah ini terdiri atas: a) hukum harus melindungi segenap bangsa dan menjamin keutuhan bangsa; b) hukum harus menjamin keadilan sosial dengan memberikan perlindungan khusus bagi golongan lemah agar tak tereksploitasi oleh golongan kuat; c) hukum harus dibangun secara demokratis; dan d) hukum tidak boleh diskriminatif.
            Berdasakan konsepsi tentang politik hukum nasional serta peran kaidah penuntun dalam pembentukan dan penegakan hukum di Indonesia maka dapat dikatakan bahwa penegak hukum dapat melakukan non enforcement of law (diskresi) baik secara sporadik maupun parsial apabila peraturan hukum dan penerapannya bertentangan dengan kaidah penuntun tersebut.
Penuntun
            Seperti apa yang seringkali diucapkan Prof. Satjipto Raharjo,S.H semasa hidupnya bahwa hukum adalah untuk manusia dan bukanlah manusia untuk hukum tampaknya dapat dijadikan motivasi bagi kita yakni masyarakat Indonesia dan khususnya bagi aparat penegak hukum untuk menegakan hukum lebih adil dan arif sehingga peradilan sesat dan para aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim yang selama ini hanya sebagai ‘corong undang-undang’ serta tidak dapat memberikan keadilan di masyarakat dapat diminimalisir keberadaannya.
            Oleh karena itu, sekiranya penulis ingin memberikan sedikit saran yang tak berharga nilainya tapi barangkali bisa memberikan sedikit manfaat bagi  aparat penegak hukum kita yakni perlunya perbaikan pada peraturan kode etik para penegak hukum (polisi, jaksa, pengacara, dan hakim) untuk dapat menyesuaikan dan memahami kearifan lokal di masyarakat demi terwujudnya keadilan.

Penulis adalah Alumni Fakultas Hukum USU, sekarang sebagai Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum (MIH) di UGM, sekaligus Waketum Keluarga Mahasiswa MIH UGM
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar