Rabu, 14 September 2011

Amandemen Kelima UUD 1945 Dan Konstitusi Berhati Nurani

Amandemen Kelima UUD 1945 Dan Konstitusi Berhati Nurani
Oleh: Kukuh Tejomurti, S.H

                “Hukum diciptakan untuk mencapai ‘The Greatest Happiness for The Greatest Number of People’”, barangkali ungkapan Jeremy Bentham tersebut dalam bukunya “Cavendish law cards jurisprundence” adalah cocok untuk kita renungkan dan aplikasikan terhadap hangatnya usulan atau wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI  Tahun 1945). Sebagaimana kita ketahui bersama UUD RI 1945 adalah konstitusi Negara Indonesia di mana peraturan perundang-undangan yang dibuat di bawahnya tidak boleh bertentangan terhadapnya. UUD RI Tahun 1945 bisa dikatakan sebagai rujukan terbentuknya peraturan perundang-undangan di bawahnya (UU / Perpu, PP, dan seterusnya) yang mengelaborasi nilai-nilai dasar Pancasila sebagai landasan filosofis negara Indonesia.
            Berangkat dari wacana amandemen kelima Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, maka penulis ingin memberikan harapan dan dukungan terhadap amandemen tersebut. Dilatarbelakangi oleh para pemikir hukum di Indonesia yang menyatakan bahwa sangat perlunya diadakan amandemen kelima UUD RI Tahun 1945 dikarenakan terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya tampaknya sedikit memberikan harapan gembira bagi penulis karena hukum (konstitusi) senantiasa bergerak maju sesuai dengan perkembangan sosial bangsa dan negara, hukum itu dibentuk adalah untuk manusia, dan bukanlah manusia untuk hukum.
Pancasila Sebagai Politik Hukum Nasional
            Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatsidee (cita negara) berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat. Dalam kon­teks kehidupan bernegara dalam kesepakatannya yaitu berkenaan de­ngan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konsti­tusi dan konsti­tusionalisme di suatu negara. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mung­kin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengah pluralisme atau kema­jemukan. Oleh karena itu, di suatu masyarakat untuk menjamin ke­ber­samaan dalam kerangka kehidupan bernegara, diperlukan pe­rumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa ju­ga disebut sebagai falsafah kenegaraan.
            Kesepakatan Pancasila sebagai penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang membentuk kesepakatan masyarakat bagaimana mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government) dan Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prose­dur-prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures).
            Pancasila sebagai ideologi terbuka setidaknya telah memberikan kesempatan bagi para perumus konstitusi untuk dapat melakukan perubahan-perubahan (amandemen) UUD RI Tahun 1945 serta tidak jumud, kerdil, dan menyakralkan UUD RI tahun 1945 dalam kaitannya dengan perkembangan politik, hukum dan keamanan negara Indonesia.
Keterdesakan Amandemen Kelima
            Dalam hubungannya UUD RI Tahun 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia seharusnya antara pasal yang satu dengan pasal lain harus sinkron dan tak bertentangan. Penulis berpendapat bahwa apabila terdapat ketidaksinkronan antar sesama pasal dalam UUD RI maka dapat mengakibatkan kekaburan (menyebabkan kekaburan interpretasi dalam politik hukum), merusak nilai-nilai konstitusi, merusak sistem di dalamnya, dan sudah seharusnya isi konstitusi tersebut harus diperbaiki.
            Sebagai contoh yaitu pembenahan hubungan antara Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR): dalam Pasal 4 ayat 1 UUD RI Tahun 1945 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial (presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan). Akan tetapi apabila kita membaca pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi, “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan”.
            Pasal ini, bersifat inkonsisten dan kabur, sebab dalam sistem pemerintahan presidensial segenap legislasi (pembuatan UU) merupakan wewenang badan legislatif. Oleh karena itu Presiden tidak mengambil keputusan terhadap hasil akhir legislasi walaupun Presiden berhak mengajukan suatu RUU kepada DPR dan DPD untuk sektor hubungan pusat dan daerah.
            Selain itu juga Pasal 4 ayat 1 bertentangan dengan Pasal 13 ayat (3) UUD 1945, yakni Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Biasanya kewenangan menerima duta negara lain adalah domain eksekutif atau Presiden, maka ketentuan adanya pertimbangan DPR menunjukkan dominasi kekuasaan DPR yang telah memasuki domain Presiden.
            Contoh lain adalah soal kekuasaan kehakiman yang harus ditata menjadi lebih baik. Hubungan antara Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) belum tertata dengan baik sehingga perlu adanya perubahan atau  perluasan makna konsepsi negara hukum lebih dari sekedar rechtstaat atau The Rule of Law sehingga konsepsi negara hukum menjadi lebih terbuka sesuai dengan perkembangan zaman.
Penutup
            Wacana dan usulan amandemen kelima UUD RI Tahun 1945 setidaknya telah memberikan kemajuan bagi para perumus konstitusi, akademisi hukum, praktisi hukum, dan mahasiswa (masyarakat) agar tidak menjadi seorang yang jumud atau kerdil dalam berhukum dan mensakralkan konstitusi sehingga rasa keadilan di masyarakat bisa diwujudkan baik keadilan prosedural maupun yang paling penting adalah keadilan substantif di masyarakat.
            Penulis juga mengharapkan dengan adanya amandemen kelima UUD RI Tahun 1945 tersebut dapat menjadikan konstitusi Negara Indonesia yang berhati nurani dan dapat membawa bangsa dan negara Indonesia kepada tujuan politik hukum nasional yang dicita-citakan.
Penulis adalah Mahasiswa Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum UGM, Waketum KMMIH UGM.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar