Meski di berbagai tempat Alquran mengkritik dan meluruskan beberapa
ajaran ahlul kitab; Yahudi dan Nasrani, tetapi Alquran tetap mengakui
keragaman dalam keyakinan/akidah dan syariah. Bahkan Islam tidak memaksa
manusia untuk menjadikan Islam sebagai satu-satunya agama di dunia.
Melalui informasi Alquran, Nabi Muhammad saw sangat mengerti bahwa
setiap upaya pemaksaan terhadap suatu agama akan mengalami kegagalan,
sebab itu bukan hanya menyalahi hukum kebiasaan tetapi juga bertentangan
dengan kehendak Tuhan.
"Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat," (QS 11:118).
Perbedaan
dalam ayat di atas diungkapkan dalam bentuk kata kerja masa kini dan
mendatang (mudhari), sehingga mengesankan perbedaan tersebut, yang
menurut ar-Razi berupa keragaman agama, adalah sesuatu yang selalu ada
pada setiap zaman, masa lalu, kini, dan mendatang.
Dalam ayat lain, Allah berfirman: "
Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di
muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya
mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya," (QS 10:99).
Dari
sini Alquran menetapkan prinsip kebebasan bergama agar para penganut
agama yang beragam dapat hidup berdampingan, aman, damai dan sejahtera.
Tidak ada paksaan dalam beragama (QS Al-Baqarah:256). Prinsip ini telah
dinyatakan jauh sebelum dunia menetapkan kebebasan beragama pasca
Revolusi Prancis pada tanggal 4 Agustus 1789 dan baru terealisasi pada
tahun 1791 yang ditandai dengan berakhirnya diskriminasi terhadap
kelompok Yahudi.
Salah satu bukti nyata penegakkan prinsip ini,
Islam membiarkan rumah-rumah ibadah di wilayah yang dikuasainya berdiri
dan tidak merusak atau menghancurkannya. Ketika berhasil menaklukkan
Yerusalem, Khalifah kedua, Umar ra, memberikan jaminan keamanan terhadap
jiwa, harta, dan rumah ibadah penduduk kota yang beragama Kristen.
Beliau mengatakan, “Gereja-gereja mereka tidak boleh dirusak dan
dinodai, begitu juga salib dan harta kekayaan mereka. Tidak boleh
seorang pun dari mereka dipaksa untuk meninggalkan agama mereka, dan
juga tidak boleh disakiti,".
Dalam hal ini, Islam tidak hanya
mengambil sikap pasif dengan tidak memperkenankan pemaksaan dalam
beragama, tetapi selangkah lebih maju karena Islam memberikan
penghormatan dengan memberikan hak-hak sepenuhnya kepada setiap jiwa
manusia sampai pun dia seorang non-Muslim.
Ungkapan Nabi saw yang sangat populer dalam hal ini: 'lahum ma lana wa ‘alayhim ma ‘alayna'
(mereka/non-Muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan kita
umat Islam). Selain kebebasan beragama dalam bentuk pendirian rumah
ibadah dan penyelenggaraan ritual keagamaan, mereka memiliki hak-hak
yang dijamin oleh Islam seperti hak persamaan dalam perlakuan, hak
perlindungan terhadap jiwa dan harta, hak jaminan sosial dan sebagainya.
Di dalam Islam tidak dikenal fanatisme agama dalam pengertian
sempit yang berakibat pada perlakuan diskriminasif terhadap agama lain.
Universalitas dakwah Islam menuntut cara-cara santun agar tercipta
stabilitas dan kedamaian untuk semua umat manusia. Untuk mewujudkan misi
damai hidup berdampingan antara umat-umat beragama Alquran menetapkan
kaidah perbedaan agama tidak sepatutnya menghalangi kita berlaku baik
dan adil terhadap yang berbeda.
Dialog merupakan upaya untuk
hidup berdampingan di tengah kemajemukan yang merupakan sunnah
kehidupan. Karena itu, dalam dialog harus ada pengakuan penghormatan
terhadap eksistensi masing-masing. Segala sesuatu yang dapat menyinggung
perasaan orang lain, sekecil apapun itu, harus dihindari. Dalam
berdialog dengan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) dan kaum musyrik
Alquran menggunakan kata-kata santun dan bersahabat, seperti “wahai
orang-orang kafir” atau musyrik, kecuali hanya di satu tempat di surah
al-Kafirun. Menurut sebab pewahyuannya, surah itu menggunakan kata
“wahai orang –orang kafir” untuk menepis harapan orang-orang musyrik
saat itu agar umat Islam rela menanggalkan ajaran tauhid yang mereka
yakini. Itu pun kemudian ditutup dengan sebuah sikap toleran, “lakum dinukum waliya din" (bagimu agamamu dan bagiku agamaku).
Jika
menyinggung perasaan saja harus dihindari apalagi sampai mencela atau
mencaci keyakinan orang yang berbeda agama. Allah berfirman:"Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan."(QS 6:108).
Begitu
banyak persamaan yang terdapat dalam agama-agama. Seperti dikatakan
Prof Dr Ali as-Saman, Ketua Komisi dialog Antaragama Mesir, “Tidak
ada konflik agama, yang terjadi adalah konflik anatara kekuatan politik
atau ekonomi yang menjadikan agama sebagai perisai/tameng untuk
melancarkan gempuran dan serangan.
Melalui dialog diharapkan kebekuan
hubungan semakin mencair, sehingga tidak ada lagi kebencian dan
fanatisme di antara para pemeluk agama. Melalui budaya dialog akan lahir
sikap kasih sayang, semangat persaudaraan dan toleransi yang akan
menciptakan keharmonisan hidup bermasyarakat. Dialog antara pemeluk
agama menjadi semakin penting di tengah gempuran ateisme modern dan
globalisasi yang mengesampingkan nilai-nilai spiritual dan moral".
Oleh:Muchlis M Hanafi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar