Salah satu konsep Islam yang dianggap menumbuhsuburkan kekerasan adalah
jihad. Konsep jihad sering disalahpahami tidak hanya oleh kalangan
non-Muslim, tetapi juga di kalangan umat Islam yang tidak memahaminya
secara baik, benar dan utuh. Secara bahasa menurut pakar Alquran,
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kamus kosakata Alquran-nya (al-mufradat), jihad adalah upaya mengerahkan segala tenaga, harta dan pikiran untuk mengalahkan musuh.
Karena
itu Al-Ishfahani membagi jihad kepada tiga macam: 1). Menghadapi musuh
yang nyata; 2) Menghadapi setan; 3) menghadapi nafsu yang terdapat dalam
diri masing-masing. Diantara ketiga macam jihad ini yang terberat
adalah jihad melawan hawa nafsu, sebagai mana sabda Rasulullah saw
ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran; "kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad yang lebih besar, yakni jihad melawan hawa nafsu”
Memahami
jihad dengan arti hanya perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata
adalah keliru. Sejarah turunnya ayat-ayat Alquran membuktikan bahwa
Rasulullah saw telah diperintahkan berjihad sejak beliau di Makkah, dan
jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk membela diri dan
agama. Pertempuran pertama dalam sejarah Islam baru terjadi pada tahun
kedua Hijriah, tepatnya 17 Ramadan dengan meletusnya Perang Badar, yaitu
setelah turun ayat yang mengizinkan perang mengangkat senjata seperti
pada QS Al-Hajj (22): 39-40: "Telah diizinkan (berperang) bagi
orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnaya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.
(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa
alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:"Rabb kami hanyalah
Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia
dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara
Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Seungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa."
Ayat ini
menunjukkan perang yang diperkenankan adalah dalam rangka mempertahankan
diri, agama, dan tanah air. Fitrah manusia cenderung tidak menyukai
perang atau kekerasan, dan lebih mendambakan kedamaian. QS Al-Baqarah
ayat 216 menyatakan demikian. Karena itu, hubungan Islam dengan dunia
luar pada dasarnya dibangun atas perdamaian. Tetapi dalam kondisi
tertentu seperti jika ada pihak yang memusuhi Islam atau mengumumkan
perang terhadap Islam, Islam mengizinkan perang.
Mayoritas ulama
Islam berpandangan tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang
kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih
bersifat defensif sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan
serangan. Para ahli hukum Islam (Fuqaha) dari kalangan empat mazhab;
Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali menyatakan, sebab perang dalam
Islam adalah karena ada permusuhan atau penyerangan dari orang kafir,
bukan karena kekafiran mereka. Kalau mereka menyerang umat Islam maka
sudah menjadi kewajiban untuk membalas serangan. Jadi, bukan karena
kekafiran atau perbedaan agama. Karena itu tidak boleh menyerang
seseorang lantaran berbeda agama atau kafir, tetapi hanya boleh jika ia
menyerang lebih dahulu.
Dari sini amat keliru pandangan sementara
intelektual Barat yang menyatakan “Islam jaya di atas pedang”, Islam
tersebar dengan jalan perang”. Sejarah membuktikan sebaliknya. Dibanyak
belahan dunia, seperti di Melayu, Islam tersebar dengan cara damai.
Inilah yang membuat pemikir Barat lain seperti Thomas Carlel Gustav Le
Bon, sejarawan terkenal asal Prancis, mengkritik tesis para koleganya
dengan menafikan tesis Islam tersebar dengan pedang. Apalagi kalau kita
pahami izin kebolehan berperang baru diperoleh dari Tuhan setelah 15
tahun Rasulullah mengembangkan dakwah Islam.
Jihad dengan
pengertian di atas tentunya sangat bertolak belakang dengan terorisme
yang secara bahasa berarti ‘menimbulkan kengerian pada orang lain yang
biasanya untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu’.
Jihad
dengan pengertian perang bertujuan untuk melindungi kepentingan dakwah
Islam, termasuk memberikan jaminan kebebasan beragama dan beribadah bagi
seluruh umat manusia, sebab Islam sangat menjunjung tinggi kebebasan
beragama. Tidak boleh ada paksaan dalam memeluk agama (QS al-Baqarah
:256 dan QS.al-Kahfi : 29).
Mufti besar Mesir, Prof Dr Syekh Ali
Jumu’ah, menyebutkan 6 syarat dan etika perang dalam Islam yang
membedakannya dengan terorisme, yaitu:
1. Cara dan tujuannya jelas dan mulia;
2. Perang/pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang memerangi, bukan penduduk sipil;
3. Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai;
4. Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi;
5.
Memelihara lingkungan, antara lain tidak membunuh binatang tanpa
alasan, membakar pohon, merusak tanaman, menermati air dan sumur,
merusak rumah/bangunan;
6. Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta dengan tidak melukai mereka.
Dari
sini sangat jelas perbedaan antara jihad dengan pengertian perang dan
terorisme. Karena itu, salah satu butir hasil keputusan sidang majma’ al-Fiqh al-Islam no 128 tentang Hak-Hak Asasi Manusia dan Kekerasan Internasional poin kelima menyatakan, “perlu
diperjelas pengertian beberapa istilah seperti jihad, terorisme, dan
kekerasan yang banyak digunakan media massa. Istilah-istilah tersebut
tidak boleh dimanipulasi dan harus dipahami sesuai dengan pengertian
yang sebenarnya."
Oleh: Muchlis M Hanafi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar