KEKELIRUAN PARADIGMA SEPARATISME DI PAPUA
Oleh: Kukuh Tejomurti, S.H.
Oleh: Kukuh Tejomurti, S.H.
Indonesia diibaratkan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya yang kini telah berjumlah 33 provinsi dengan berbagai suku, ras, budaya, dan agama. Oleh karena itu sebagai seorang ibu yang bijak maka apabila ada seorang anak yang mengeluh (bermasalah) sudah selayaknya diselesaikan dengan cara dialog sepenuh hati antara seorang ibu dengan anaknya.
Begitu juga dengan Papua (Irian Jaya) sebagai salah satu bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tengah bergejolak selama ini, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menyelesaikannya dengan cara-cara dialogis sepenuh hati bersama masyarakat Papua untuk mencapai satu komitmen (cita-cita) yang satu. Peristiwa kerusuhan yang semakin “panas” di daerah Tembagapura, Timika, Papua adalah salah satu ancaman bagi keutuhan NKRI apabila pemerintah Indonesia terus menerus menyelesaikan kerusuhan tersebut dengan menjadikan masyarakat Papua yang memberontak sebagai musuh.
Kata-kata “ketidakadilan” dan “perlakuan diskriminatif” terhadap sebagian masyarakat Papua tampaknya menjadi kata semboyan pemersatu mereka untuk melawan pemerintah Indonesia yang dinilai tak adil terhadap mereka. Semakin berlarutnya penyelesaian masalah aksi kekerasan yang terjadi di Papua selain meresahkan kehidupan warga, hal tersebut tentunya menjadi promosi negatif bagi iklim usaha sekaligus menghambat pelaksanaan diplomasi Indonesia.
Kekeliruan Paradigma Separatisme
Ibarat seorang anak tentunya tak ingin diperlakukan seperti anak tiri yang dibeda-bedakan dengan anak lainnya. Masyarakat Papua juga tentunya tak ingin diperlakukan diskriminatif oleh pemerintah Indonesia. Dari masalah “Legitimasi Pepera” yang masih diperdebatkan oleh negara-negara barat, masalah “perampokan” sumber daya alam masyarakat Papua oleh PT. Freeport, sampai masalah internal antara buruh PT. Freeport dengan majikannya tampaknya semakin membuat pikiran dan hati nurani penulis gelisah. Sampai kapankah akan jatuh korban tewas akibat ketidakharmonisan antara “Ibu dan anak” ini?
Tidak jauh berbeda dengan Aceh, gerakan perlawanan Papua dilihat Pemerintah melalui kacamata separatisme. Stigma separatisme biasanya akan selalu diikuti dengan aksi kekerasan baik dengan melaksanakan operasi militer secara berkala formal maupun rahasia. Belajar dari kasus Aceh, dalam rangka memadamkan gerakan perlawanan di Aceh, maka dilaksanakanlah operasi militer rahasia dengan sandi operasi jaring merah. Wilayah yang terkena operasi tersebut dikenal dengan nama Daerah Operasi Militer (DOM) berlangsung dari tahun 1989-1998. Kebijakan DOM tersebut ditingkatkan lagi menjadi Status Darurat Militer dan Darurat Sipil hingga terjadi bencana Tsunami pada 26 Desember 2004.
Sejak diterapkannya kebijakan Pemerintah tersebut menyebabkan kerugian sosial yang besar, seperti: banyak anak-anak yang menjadi yatim piatu, ibu-ibu menjanda, orang-orang cacat. Lebih dari itu, dengan dilabeli sebagai kaum separatisme, sebagian masyarakat Aceh saat itu menjadi semakin marah yang terakumulasi dan kemudian meledak. Melihat dari kasus Aceh, menurut Penulis, kebijakan represif militer sangat mungkin menyebabkan kegagalan, kerugian sosial serta kerugian finansial yang besar. Namun, dengan langkah dialogis komprehensif (MoU antara RI-GAM) yang dilandasi oleh niat tulus ikhlas maka dalam waktu yang tidak terlalu lama konflik itu bisa diselesaikan tabpa harus menimbulkan korban jiwa dan mengeluarkan banyak biaya.
Apa yang dipaparkan di atas jika dikaitkan dengan masalah Papua saat ini tentu boleh jadi bisa menjadi “solusi sehat” antara Pemerintah dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Oleh karena jika terus menerus Pemerintah melabelkan separatisme dan melakukan dehumanisasi maka masalah di Papua tak kunjung selesai.
Diplomasi Untuk Papua
Helen Barness menjelaskan bahwa dialog bersifat terbuka, inklusif, mendorong peserta dialog utuk berbicara dan saling mendengarkan dalam rangka membangun rasa percaya dan memungkinkan tercapainya konsensus dan kesepakatan konkret. Nilai dialog terletak pada keseimbangan dan semua pihak menjadi pemenang.
Belajar dari peristiwa Aceh, tampaknya pada masa Presiden Gus Dur (alm.), beliau menerapkan strategi “look to the east”. Kebijakan ini dilakukan untuk mempererat hubungan dengan negara-negara di kawasan Pasifik sekaligus mencegah agar negara-negara tersebut tidak memberikan dukungan politik kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM). Selain itu, Pemerintah juga mengirimkan delegasinya pada Konferensi Tingkat Tinggi Pasific Islands Forum (PIF) yang diselenggarakan di Tarawa, Kiribati pada akhir Oktober 2000. Hasilnya sangat positif, diperoleh dukungan bagi keutuhan NKRI termasuk Papua.
Penutup
Penulis menaruh asa yang besar kepada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat ini. Belajar dari kerusuhan di Aceh, tampaknya Presiden SBY telah dapat dikatakan berhasil merujukan jurang perceraian di Aceh dengan disepakatinya MoU Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tentang Peta Damai.
Dalam wawancara yang dikutip dari Newsweek awal maret 2006, Presiden SBY mengatakan bahwa kita harus mengubah paradigma keamanan internal dan menempuh metode baru untuk menyelesaikan konflik dalam negeri, termasuk permasalahan di Papua. Berangkat dengan semangat senasib sebangsa dan semangat perdamaian di Aceh, penyelesaian konflik di Papua harus dilakukan dengan pendekatan dialogis sepenuh hati agar tidak ada lagi kekerasan menimpa masyarakat Papua, tidak ada lagi anak-anak yatim piatu, tidak ada lagi ibu-ibu menjanda, tidak ada lagi orang-orang cacat tertembak senapan peluru, dan tidak ada lagi nyawa-nyawa manusia terbuang sia-sia. Damailah Papuaku !
Penulis adalah Alumni FH USU dan saat ini sebagai Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (MIH) UGM, serta Waketum Keluarga Mahasiswa MIH UGM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar